Doha, Qatar – Pertemuan darurat para pemimpin negara Arab dan Islam di Doha telah mengutuk serangan “pengecut” Israel terhadap pemimpin Hamas di ibu kota Qatar, akan tetapi para peserta tidak menjanjikan tindakan konkret apapun.
Janji Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) untuk “mengaktifkan mekanisme pertahanan bersama” mungkin merupakan hasil paling nyata dari konferensi puncak tersebut, yang dibuka oleh Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, yang menyebut serangan Israel sebagai “tindakan terang-terangan, pengkhianatan, dan pengecut”.
Negara-negara GCC, yaitu Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, telah membentuk pakta pertahanan untuk mengatasi masalah keamanan negara-negara anggota.
“Ibu kota negara saya mengalami serangan khianat yang menargetkan kediaman keluarga para pemimpin Hamas dan delegasi perunding mereka,” ujar Sheikh Tamim dalam pidato pembukaannya. Para pemimpin Hamas tengah bersidang membahas proposal gencatan senjata di Gaza yang didukung Amerika Serikat terbaru.
Sheikh Tamim menyerukan “langkah-langkah konkret untuk mengatasi keadaan kegilaan akan kekuasaan, kesombongan, dan obsesi haus darah yang telah melanda pemerintah Israel, serta segala akibat yang telah dan terus ditimbulkannya”.
Serangan terhadap mediator membuktikan bahwa Israel “tidak memiliki minat tulus akan perdamaian” dan berusaha “menggagalkan negosiasi” untuk mengakhiri perang di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 64.800 warga Palestina, katanya.
KTT darurat ini diselenggarakan setelah kemarahan melanda kawasan menyusul serangan Israel pada 9 September yang menewaskan enam orang.
GCC menyatakan bahwa konsultasi telah berlangsung di antara badan-badan militer blok tersebut untuk membangun “kapabilitas pencegah Teluk”, dengan pertemuan Komando Militer Terpadu kelompok itu yang akan segera digelar di Doha, menurut Majed Mohammed Al-Ansari, juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar.
Tidak ada rincian lebih lanjut yang tersedia tentang mekanisme pertahanan baru tersebut, yang menyatakan bahwa serangan terhadap satu negara anggota berarti serangan terhadap semua.
“Pernyataan bersama jelas menyerukan diselenggarakannya pertemuan komando tinggi di sini, di Doha, untuk membahas langkah-langkah lebih lanjut guna memastikan bahwa keselamatan dan keamanan bersama negara-negara GCC tertangani,” kata Al-Ansari kepada Al Jazeera.
“GCC berdiri dalam satu barisan,” tambahnya.
Emir Qatar juga memperingatkan visi ekspansionis Israel terhadap kawasan, dengan serangan berulang ke Lebanon, Suriah, dan Yaman. Israel juga telah merebut tanah Suriah dan menolak menarik pasukannya dari Lebanon selatan.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bermimpi menjadikan wilayah Arab “sebagai sphere of influence Israel”, ujar Sheikh Tamim, seraya menambahkan bahwa hal itu “adalah ilusi yang berbahaya”.
Tidak ada langkah politik atau ekonomi langsung yang diumumkan terhadap agresi Israel pada konferensi puncak tersebut.
Namun Jasem Mohamed Albudaiwi, sekretaris jenderal GCC, mendesak Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengendalikan sekutu terdekat Washington, Israel.
“Kami mengharapkan mitra strategis kami di AS untuk menggunakan pengaruhnya pada Israel agar menghentikan perilaku ini – kami benar-benar mengharapkan itu,” kata Albudaiwi.
“Mereka memiliki leverage dan pengaruh atas Israel, dan inilah saatnya leverage dan pengaruh itu digunakan.”
Terlepas dari ekspektasi akan langkah-langkah yang lebih tegas, komunike akhir konferensi puncak sebagian besar terdiri dari kutukan dan janji solidaritas.
“Kami mengutuk dengan sekeras-kerasnya serangan pengecut dan ilegal Israel terhadap Negara Qatar. Kami merespons dengan solidaritas mutlak bersama Qatar dan dukungan atas langkah-langkahnya,” bunyi memo yang dikeluarkan oleh negara-negara anggota Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Komunike tersebut juga memuji respons Qatar atas serangan tersebut, menyuarakan solidaritas terhadap peran mediasi Doha bersama Mesir dan AS, serta menolak segala pembenaran untuk agresi lebih lanjut.
Negara-negara anggota juga menolak “ancaman berulang Israel atas kemungkinan menargetkan Qatar kembali”.
Ketika ditanya tentang ancaman ini, serta tekad Israel untuk menargetkan Hamas “di mana saja”, juru bicara Kementerian Luar Negeri Al-Ansari mengatakan Qatar akan memanfaatkan sistem internasional untuk meminta pertanggungjawaban Israel.
“Kami akan meminta pertanggungjawaban Israel di komunitas internasional, dan alat kami dalam melakukannya adalah keyakinan kami pada hukum dan organisasi internasional,” ujarnya.
“Inilah mengapa kami mendatangi Dewan Keamanan [Perserikatan Bangsa-Bangsa] dan kini, tentu saja, ke Organisasi Arab dan Islam serta GCC … kami bekerja sangat erat dengan semua mitra kami untuk memastikan kami mencegah Perdana Menteri Netanyahu menyerang negara berdaulat lagi.”
Meskipun komunike bersama tidak mencakup langkah-langkah tegas, beberapa pemimpin Arab dan Islam mengajukan respons yang lebih kuat dan dapat ditindaklanjuti terhadap Israel.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mendesak para pemimpin Arab dan Muslim untuk menerapkan tekanan ekonomi pada Israel, dengan argumen bahwa “pengalaman masa lalu telah membuktikan kesuksesan tekanan seperti itu”.
Dia juga menyerukan agar pejabat Israel dihadapkan ke pengadilan melalui mekanisme hukum internasional.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengatakan bahwa “serangan keji di wilayah Qatar merupakan pelanggaran berat hukum internasional dan menciptakan preseden berbahaya”.
“Saya katakan kepada rakyat Israel bahwa apa yang terjadi sekarang merusak perjanjian damai yang ada, dan konsekuensinya akan buruk,” ujarnya. Mesir merupakan negara Arab pertama yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel pada tahun 1979.
Sementara itu, Pakistan mendesak PBB untuk menskors Israel, dan juga menyerukan dibentuknya satgas Arab-Islam.
Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif menyatakan bahwa satgas tersebut harus “mengambil langkah-langkah efektif untuk menghalau desain ekspansionis Israel”.
Di sisi lain, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menegaskan bahwa “kecaman tidak akan menghentikan misil, deklarasi tidak akan membebaskan Palestina”.
Ia mendesak diberlakukannya sanksi tegas serta penghentian hubungan diplomatik dan niaga dengan Israel.
Presiden Iran Masoud Pezeshkian sebelumnya pada Senin juga telah mendesak negara-negara Muslim untuk memutus hubungan dengan Israel.
“Kita harus bertindak bersama untuk menentang perilaku Israel karena Israel telah melanggar kedaulatan sejumlah negara Arab dan Muslim dengan dalih pembenaran diri yang keliru,” ujarnya.
Andrea Dessi, asisten profesor hubungan internasional di Universitas Roma, mengatakan bahwa KTT Doha menandai perubahan nada di kalangan negara-negara Islam Arab.
“Pada tingkat retoris, kita melihat awal dari sebuah penyatuan, perubahan nada dan perubahan pola pikir – tindakan nyata harus menyusul,” kata Dessi kepada Al Jazeera.
Sang profesor menyebut acara tersebut penting, karena para pemimpin Arab dan Muslim sepakat bahwa “sesuatu harus berubah dalam hal arsitektur keamanan kawasan. Kita masih jauh dari hal ini, namun sudah ada pergerakan”.
Seiring berlangsungnya KTT di Doha, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio melakukan perjalanan ke Israel untuk menemui Netanyahu, yang kembali mengancam akan menargetkan para pemimpin Hamas jika Qatar tidak mengusir mereka. Namun Trump pada Senin mengulangi pernyataannya bahwa Israel tidak akan menyerang Qatar lagi.
Al-Ansari menyatakan bahwa Qatar “telah berhubungan sangat erat dengan pemerintahan Trump”.
Ia memberitahu wartawan bahwa Perdana Menteri Qatar dan Menteri Luar Negeri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani memiliki pertemuan yang “sangat baik” di New York pada pekan lalu, dan bahwa diskusi mengenai langkah selanjutnya antara para sekutu tengah berlangsung.
Rubio dijadwalkan mengunjungi Doha pada hari Selasa.