Di Shambat al-Aradi, sebuah lingkungan erat di Khartoum Utara yang dulu terkenal dengan perkumpulan komunitas yang hidup serta festival musik penuh semangat, dua sahabat sejak kecil mengalami penderitaan akibat kurungan dan ketidakadilan dari salah satu pihak yang berperang di Sudan.
Khalid al-Sadiq, seorang dokter keluarga berusia 43 tahun, dan sahabat karibnya, musisi berusia 40 tahun yang dulu menghidupkan panggung Teater Khedr Bashir di dekatnya, tak terpisahkan sebelum perang.
Namun, ketika perang saudara pecah pada April 2023 dan pertempuran melanda kota mereka, kedua pria yang lahir dan besar di dekat teater tercinta itu terseret dalam gelombang penangkapan sewenang-wenang oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF), kelompok paramiliter.
Mereka ditahan terpisah dan disiksa dengan cara berbeda, tapi pengalaman mereka tetap serupa—sampai akhirnya bebas, dengan tubuh yang berubah, jiwa yang hancur, dan ikatan abadi sebagai penyintas.
Penahanan dan Tebusan
Penderitaan al-Sadiq dimulai pada Agustus 2023 saat pasukan RSF menyerbu Shambat dan menangkapnya serta banyak lelaki lain tanpa alasan.
Ia dimasukkan ke kamar mandi di sebuah rumah yang dijarah RSF bersama tujuh orang lain, dan ditahan di sana berhari-hari.
“Kami hanya dikeluarkan untuk makan, lalu dipaksa masuk lagi,” katanya.
Di hari-hari interogasi pertamanya, al-Sadiq berulang kali disiksa RSF untuk memaksanya membayar tebusan.
Mereka menghancurkan jarinya satu per satu dengan tang. Suatu ketika, untuk menakutinya, mereka menembak tanah di dekatnya, membuat pecahan peluru melukai perutnya hingga berdarah deras.
Setelah tiga hari, para tawanan dijejerkan.
“Mereka mencoba bernegosiasi, menuntut 3 juta pound Sudan [sekitar $1.000] per orang,” kenang al-Sadiq.
Tiga pria dibebaskan setelah menyerahkan semua harta mereka, termasuk becak dan uang tunai. Al-Sadiq dan tahanan lain dipindahkan ke sel lebih kecil—toilet sempit di bawah tangga.
“Tak ada ventilasi. Serangga di mana-mana,” ujarnya. Mereka harus bergantian tidur—dua orang bisa berbaring sementara dua lainnya berdiri.
Beberapa kilometer jauhnya, sahabat al-Sadiq, si musisi yang meminta anonim, juga ditangkap dan ditahan di Kamp Militer Parasut di Khartoum Utara, yang direbut RSF di awal perang melawan militer Sudan.
Itu bukan satu-satunya kali ia ditahan, karena RSF diberi tahu keluarganya masih berhubungan jauh dengan mantan Presiden Omar al-Bashir.
“Mereka bilang aku ‘sisa rezim’ karena hubungan itu, padahal aku tak pernah terlibat. Aku bahkan menentangnya,” katanya, seraya menambahkan ia pernah protes melawan al-Bashir.
Bulan-bulan setelah perang, rumah keluarganya di Shambat diserbu RSF dan adiknya ditembak di kaki. Agar semua aman, si musisi segera mengungsikan keluarganya ke Umm al-Qura di negara bagian Gezira, lalu pulang untuk mengambil barang-barang. Saat itulah ia ditangkap.
Di kamp militer itu, ia bercerita ke Al Jazeera, pejuang RSF mengikatnya dan tahanan lain lalu membaringkan mereka tengkurap di halaman. Lalu mereka dicambuk dengan “sout al-anag”, cambuk kulit tradisional Sudan yang terbuat dari kulit kuda nil.
“Cambukan berlangsung lama,” tambahnya, dan itu bukan insiden tunggal. Ia mengalaminya berkali-kali.
Dalam interogasi, personel RSF terobsesi dengan dugaan hubungannya dengan al-Bashir, mencapnya dengan hinaan seperti “Koz” yang berarti sisa Islamis politik rezim al-Bashir, dan menyiksanya secara verbal maupun fisik.
Ia ditahan sekitar sebulan, lalu dibebaskan untuk pulang ke rumah yang telah dijarah.
Ia akan ditahan setidaknya lima kali lagi.
“Kebanyakan penahanan berdasar laporan warga, kadang untuk keuntungan pribadi, kadang karena siksaan,” kata al-Sadiq.
“Para komandan RSF bahkan membanggakan punya daftar pendukung rezim Bashir atau SAF [Angkatan Bersenjata Sudan] di setiap wilayah.”
Kerja Paksa
Selama ditahan RSF, si musisi bercerita ia dan tahanan lain dipaksa melakukan pekerjaan kasar yang tak ingin dilakukan para pejuang.
“Mereka biasa membawa kami pagi-pagi untuk menggali kuburan,” katanya. “Aku sendiri menggali lebih dari 30 kuburan.”
Kuburan itu ada di sekitar kamp tahanan, mungkin untuk para tahanan yang mati karena siksaan, sakit, atau kelaparan.
Meski tak bisa memperkirakan berapa banyak yang dikubur di sana, ia menggambarkan lokasi penggaliannya sudah memiliki banyak lubang bekas kuburan sebelumnya.
Sementara itu, al-Sadiq ditutup matanya, diikat, dan dimasukkan ke van lalu dibawa ke fasilitas tahanan RSF di lingkungan al-Riyadh.
Kompleks itu punya lima zona: masjid yang dijadikan penjara, bagian untuk wanita, area tentara yang ditangkap dalam pertempuran, bagian untuk yang menyerah, dan ruang bawah tanah bernama “Guantanamo”—tempat penyiksaan sistematis.
Al-Sadiq berusaha membantu sesama tahanan, mengobati mereka dengan apa saja yang bisa dikumpulkan, dan memohon RSF membawa tahanan sakit parah ke rumah sakit.
Tapi RSF biasanya mengabaikan permintaan itu, dan al-Sadiq masih ingat seorang pasien, Saber, yang tetap dibelenggu meski kesehatannya memburuk cepat.
“Aku terus memintanya dibawa ke rumah sakit,” kata al-Sadiq. "Dia meninggal."
Beberapa tahanan sempat menerima perawatan, meski begitu, RSF menahan sekelompok dokter di ruang terpisah yang dilengkapi tempat tidur dan peralatan medis. Di sana, mereka diperintahkan untuk merawat pejuang RSF yang terluka atau tahanan yang ingin dipertahankan hidupnya—entah untuk terus disiksa demi informasi atau karena dianggap bisa menghasilkan tebusan besar.
Al-Sadiq memilih tidak bergabung dengan dokter lain dan mengurangi kerja sama dengan RSF, memilih menyendiri bersama tahanan lainnya. Kondisi di sel yang ia tinggali sungguh tak manusiawi.
"Total air yang kami terima setiap hari—untuk minum, wudhu, semuanya—hanya enam gelas kecil," ujar al-Sadiq. Makanan pun langka, dan "serangga, tikus, serta kutu hidup bersama kami. Saya kehilangan 35 kg."
Namun, para penculik memberikannya sedikit persediaan medis saat membutuhkannya untuk merawat seseorang, yang menjadi penyelamat bagi sekitarnya. Para tahanan begitu putus asa hingga ia terkadang membagikan infus glukosa dari RSF agar bisa diminum demi menghindari dehidrasi.
Satu-satunya sumber makanan lain adalah "pembayaran" kecil berupa gula, susu, atau kurma yang diberikan RSF kepada tahanan yang dipaksa bekerja kasar seperti memuat atau membongkar truk.
Al-Sadiq tidak menyebut dipaksa menggali kuburan bagi sesama tahanan atau mendengar tahanan lain melakukannya. Namun bagi sang musisi, kuburan menjadi kenyataan sehari-hari, bahkan saat ia sempat pulang ke Shambat. Ia membantu mengubur sekitar 20 tetangga yang tewas akibat baku tembak atau kelaparan, yang harus dikubur di mana saja kecuali pemakaman.
RSF memblokir akses ke pemakaman tanpa penjelasan kepada keluarga yang ingin memakamkan orang tercinta. Bahkan awalnya, RSF melarang semua penguburan, sebelum akhirnya mengizinkan asalkan tidak di pemakaman. Jadi, sang musisi dan warga lain menggali kuburan di Lapangan Rabta Stadion Shambat dan dekat Teater Khedr Bashir.
Banyak yang takut keluar rumah akhirnya memakamkan keluarga di halaman atau lahan kosong yang bisa dijangkau diam-diam.
Penderitaan itu berlanjut hingga musim dingin saat al-Sadiq dibebaskan dan RSF berhenti menangkap sang musisi. Keduanya tak tahu alasannya.
Baik al-Sadiq maupun sang musisi mengaku masih dihantui pengalaman mereka. "Siksaan itu tak berakhir dengan pembebasan; ia mengikuti kami, mengakar dalam pikiran, bayangan yang mungkin menggelapi sisa hidup," kata mereka.
Pada 26 Maret, SAF mengumumkan merebut kembali Khartoum. Kini, keduanya kembali ke lingkungan mereka, merasa lebih aman. Setelah ditahan dan disiksa RSF, mereka yakin tak akan dicurigai sebagai kolaborator oleh SAF—memberikan setidaknya rasa aman yang rapuh.