Biara Nurani: Kehilangan Teman karena Membela Palestina | Konflik Israel-Palestina

Revisi dengan Tingkat C2 Bahasa Indonesia:

Sudah lama aku menulis banyak tentang ujian dan tragedi yang menghancurkan hati rakyat Palestina.

Setiap kata dalam setiap kolom yang muncul di halaman ini, yang didedikasikan untuk nasib genting Palestina dan jiwa-jiwa pantang menyerah yang tak mau meninggalkannya, kuhargai sebagai kewajiban dan tanggung jawab.

Ini adalah kewajiban dan tanggung jawab para penulis—yang diberi hak istimewa untuk menjangkau banyak orang di berbagai tempat—untuk menyingkap ketidakadilan dan mengungkap penderitaan yang tak semestinya.

Aku sudah jelaskan sejak awal: Di sinilah aku berdiri. Bukan karena aku tahu segalanya tentang benar dan salah—penulis jujur mana pun sadar betapa melelahkan dan bodohnya itu—tapi karena aku terpanggil untuk menyampaikan kebenaran dengan jelas dan, jika perlu, berulang kali.

Mengakhiri apa yang terjadi dan terus terjadi pada rakyat Palestina adalah keharusan moral di saat-saat mengerikan ini.

Ini butuh respons karena diam sering diartikan—sadar atau tidak—sebagai persetujuan dan keterlibatan.

Setiap dari kita yang merasakan kewajiban ini merespons dengan caranya masing-masing.

Ada yang berpidato di parlemen. Ada yang berdemo berbaris. Ada yang pergi ke Gaza dan Tepi Barat untuk meringankan, sebisanya, kesengsaraan dan keputusasaan yang merajalela.

Aku menulis.

Menulis untuk membela Palestina—kemanusiaan, martabat, dan hak-hak mereka—bukanlah provokasi polemis, dan tak bisa dianggap remeh.

Bagiku, ini adalah tindakan nurani.

Aku tidak menulis untuk merayu. Aku menolak menyebut yang terjadi pada rakyat Palestina sebagai “rumit” hanya agar pembaca punya jalan keluar etis yang nyaman.

Penjajahan tidak rumit. Penindasan tidak rumit. Apartheid tidak rumit. Genosida tidak rumit. Itu kejam. Itu salah. Itu harus tunduk pada kebaikan.

Menulis tentang Palestina dengan blak-blakan seperti ini memancing berbagai tanggapan dari berbagai pihak.

MEMBACA  Badenoch Tegaskan Dirinya Tidak Lagi Mengidentifikasi sebagai Orang Nigeria

Ada yang memuji “keberanianmu”. Ada yang berterima kasih karena kau “bersuara” untuk mereka, karena tak gentar, karena menyebut nama. Ada yang mendorongmu untuk terus menulis, meski ada risiko dan kecaman.

Tapi, tak sedikit pula yang menjelekkanmu. Ada yang mendoakan celaka untukmu dan keluargamu. Ada yang mencoba—dan gagal—memecatmu.

Yang bisa kau lakukan sebagai penulis adalah terus menulis, terlepas dari reaksi—baik atau buruk, bijak atau sembrono—atau konsekuensinya, disengaja atau tidak.

Tapi, salah satu dampak dari menulis tentang Palestina adalah kehilangan persahabatan yang selama ini memberi ketenangan dan kebahagiaan.

Kurasa aku tak sendirian dalam hal ini.

Pelajar, guru, akademisi, seniman, dan banyak lainnya telah diasingkan, didakwa, bahkan dipenjara karena menolak mengabaikan atau memutihkan kengerian yang kita lihat hari demi hari.

Dalam konteks ini, kesulitanku, meski menyakitkan dan mengganggu, masih tergolong ringan. Kehilangan sahabat, seberapa pun berharganya, tampaknya jadi harga yang harus dibayar untuk kejujuran yang mengusik.

Persahabatan yang dibangun selama puluhan tahun, melalui suka dan duka serta kepercayaan yang dibagi, lenyap dalam seke