Perjalananku ke Suzhou, China — dan Ini Mengubah Diriku Sepenuhnya
Ketika suamiku pertama kali bilang kita punya kesempatan jalan-jalan ke China, aku campur aduk antara seneng dan agak panik. Aku pernah keliling Asia—Jepang, Kamboja, Thailand—tapi China terasa lebih intense. Wilayah yang asing, ditambah nggak ada Google, Instagram, atau bahkan SMS biasa, bikin aku ragu.
Tapi syukurlah aku nggak menyerah sama ketakutan. Karena Suzhou? Suzhou ubah segalanya.
Perjalanan: Dari Kekacauan Shanghai ke Kedamaian Suzhou
Kami mendarat di Bandara Internasional Shanghai Pudong, salah satu bandara terbesar dan paling membingungkan yang pernah kukunjungi. Untungnya, ada supir yang udah nunggu, jadi perjalanan setelah penerbangan yang melelahkan jadi lebih gampang.
Perjalanan dari Shanghai ke Suzhou cuma butuh kurang dari dua jam, dan setiap kilometer yang terlewati, aku merasakan perubahannya. Gedung pencakar langit berubah jadi jalanan rindang. Suara bising pun mereda. Saat tiba di Suzhou, rasanya seperti masuk ke dalam lukisan cat air.
Basecamp Mewah di Tengah Kota
Kami menginap di Park Hyatt Suzhou, dan jujur, hotelnya sendiri udah jadi destinasi. Kamar kami menghadap danau yang tenang, spa-nya bagus banget sampe kami booking tiap hari, dan breakfast buffet-nya? Luar biasa.
🥐 Pastri Prancis segar
🍜 Ramen custom
🥟 Pangsit kukus
🍳 Telor dimasak sesuai pesanan
Seperti bangun di mimpi bintang lima tiap pagi.
Jelajah Jiwa Suzhou
Suzhou sering disebut "Venice dari Timur", dan begitu jalan-jalan di antara kanal dan jembatannya, kamu bakal ngerti kenapa. Tapi yang bener-bener nempel di ingatanku adalah keindahannya yang sunyi. Setiap taman, gang, atau jalan tepi danau terasa didesain untuk ketenangan.
Kami jalan kaki. Banyak banget. Pagi keliling danau, siang menyusuri taman kuno, malam menjelajahi pasar lokal. Aku merasa aman, diterima, dan anehnya seperti di rumah—meski nggak bisa bahasa Mandarin.
Nggak Online Justru Hadiah Terbaik
Salah satu ketakutanku terbesar adalah nggak bisa terhubung. Pembatasan internet di China berarti nggak ada Google, Instagram, atau cara gampang buat chat teman di rumah. Aku udah download VPN dan aplikasi offline sebelumnya, tapi setelah beberapa hari… aku berhenti ngecek.
Tanpa media sosial, aku benar-benar ngelihat. Aku menikmati setiap detik. Aku hadir dengan cara yang udah lama nggak kulakukan.
Pelajaran dari Suzhou
Bahasa bukan penghalang—kesabaran kuncinya. Aplikasi terjemahan, bahasa tubuh, dan senyuman cukup membantu.
Persiapan itu penting. Peta offline, alamat dalam Bahasa Mandarin yang dicetak, dan power bank jadi penyelamat.
Uang tunai bukan raja. Semua serba digital. Aku pakai kartu kredit, tapi kebanyakan lokal pakai WeChat Pay.
Budayanya sangat dalam. Suzhou mengajariku bahwa hormat ditunjukkan lewat hal kecil—suara pelan, dua tangan saat memberi, nggak usah kasih tip, nggak pamer.
Akhir Kata: Kenapa Aku Mau Balik Lagi
Suzhou nggak cuma mengejutkan aku. Ia melunakku. Aku pulang lebih rileks, nggak tergantung sama hape, dan benar-benar merasa segar. Kulitku lebih bersih, rasa cemas berkurang, dan pandanganku lebih luas.
Jadi kalau China ada di bucket list kamu—apalagi kalau masih ragu seperti aku—anggap ini pertanda. Mulai dari Suzhou. Biarkan ia mengejutkanmu.
Kamu bakal pulang sebagai orang yang berbeda. Dalam cara terbaik.
Punya pertanyaan soal jalan-jalan ke China atau mau lihat lebih banyak cerita perjalananku? Tinggalin komentar di sini.