Victoria Gill
Koresponden Sains, BBC News
Link et al/Biology Letters
Para peneliti menyebut burung terror tidak selamat dari perjumpaan itu
Bekas gigitan pada tulang kaki reptil burung raksasa yang dikenal sebagai terror bird 13 juta tahun lalu menunujukkan bahwa pemangsa yang lebih besar mungkin telah membunuhnya, menurut para ilmuwan.
Terror birds adalah predator puncak—mereka bisa lebih tinggi dari manusia dengan kaki kuat dan paruh bengkok yang mampu mencabik daging. Paleontolog di Kolombia mencocokkan bekas gigitan pada fosil tulang kaki salah satu burung menakutkan ini dengan caiman atau reptil mirip buaya.
Pemindaian digital 3D dari gigitan itu memungkinkan ilmuwan merekonstruksi apa yang mereka yakini sebagai "pertarungan mematikan" yang tidak dimenangkan oleh terror bird.
Link et al/Biology Letters
Para peneliti memindai bekas gigitan pada tulang kaki dan membandingkannya dengan tengkorak serta gigi predator mirip buaya
Studi baru, yang dipublikasikan di Biology Letters, membandingkan ukuran dan bentuk bekas gigitan dengan tengkorak serta gigi predator mirip buaya dalam koleksi museum. Ini memberikan bukti langka, kata para peneliti, tentang interaksi antara dua predator puncak yang telah punah saat itu.
Tulang kaki yang diteliti pertama kali ditemukan lebih dari 15 tahun lalu di Gurun Tatacoa, Kolombia. Ketika burung ini hidup di rawa-rawa daerah itu 13 juta tahun lalu, tingginya mencapai 2,5 meter dan menggunakan kaki serta paruhnya untuk menahan serta mencabik mangsanya.
Yang tidak bisa dibuktikan secara pasti adalah apakah terror bird malang ini tewas dalam serangan atau caiman yang memakan bangkainya.
"Tidak ada tanda penyembuhan pada bekas gigitan di tulang," jelas peneliti utama Andres Link dari Universidad de Los Andes di Bogotá, Kolombia. "Jadi, jika belum mati, ia tewas dalam serangan. Itu hari terakhir burung itu ada di planet ini—lalu potongan tulang kakinya ditemukan 13 juta tahun kemudian."
Andres Link
Bekas gigitan jelas terlihat pada potongan tulang kaki
Gurun Tatacoa menyimpan banyak fosil dari zaman Middle Miocene. Saat itu, wilayah ini adalah rawa lembab di mana sedimen sungai mengubur dan memfosilkan tulang hewan mati, sehingga terawetkan hingga kini.
Tulang ini pertama kali ditemukan sekitar 15 tahun lalu oleh kolektor fosil lokal, César Augusto Perdomo. Ilmuwan Kolombia bekerja sama dengannya, meneliti fosil-fosil yang ia kumpulkan di museumnya. Saat sedang bekerja di museum, mereka menyadari bahwa potongan tulang seukuran kepalan tangan ini berasal dari terror bird.
Penemuan itu sangat menarik—fosil terror bird jarang ditemukan. Tapi Dr. Link dan rekan-rekannya juga terpesona oleh lubang gigitan di tulang, yang jelas dibuat oleh gigi predator kuat lainnya.
Andres Link
César Augusto Perdomo telah mengoleksi fosil sejak kecil
Analisis baru menunjukkan bahwa bekas gigitan itu paling cocok dengan spesies caiman punah bernama Purussaurus neivensis, buaya purba yang panjangnya bisa mencapai lima meter.
Para peneliti menyebutnya mungkin menyergap mangsa dari tepi air, mirip buaya dan caiman modern.
"Aku membayangkan ia sedang menunggu mangsa mendekat," kata Dr. Link. Jika ini benar pertarungan dua predator puncak, Dr. Link mengatakan hal ini memberi wawasan tentang ekosistem purba. Ini mengungkapkan bahwa terror bird yang ganas ternyata lebih rentan terhadap pemangsa dari yang diperkirakan.
"Setiap bagian tubuh membantu kita memahami kehidupan di planet ini di masa lalu," kata Dr. Link kepada BBC News. "Itu sesuatu yang membuatku takjub—bagaimana satu tulang kecil bisa menyempurnakan cerita."