Paul Adams
Koresponden Diplomatik BBC
EPA
Perdana Menteri Sir Keir Starmer mengumumkan bahwa Inggris bakal mengakui negara Palestina pada September kecuali Israel memenuhi beberapa syarat, termasuk setuju pada gencatan senjata di Gaza dan menghidupkan kembali prospek solusi dua negara.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bereaksi keras terhadap pengumuman ini, menyebut keputusan itu sebagai "hadiah bagi terorisme mengerikan Hamas".
Apa artinya jika pengakuan itu benar-benar terjadi? Dan apa bedanya?
Apa Arti Pengakuan terhadap Negara Palestina?
Palestina adalah negara yang ada sekaligus tiada.
Ia mendapatkan pengakuan luas secara internasional, memiliki misi diplomatik di luar negeri, serta tim yang berlaga di kompetisi olahraga, termasuk Olimpiade.
Namun, akibat konflik berkepanjangan dengan Israel, Palestina tak punya batas wilayah yang disepakati internasional, tidak memiliki ibu kota, dan tidak punya tentara. Di Tepi Barat, Otoritas Palestina—yang dibentuk pasca perjanjian damai tahun 1990-an—tidak sepenuhnya menguasai tanah maupun rakyatnya akibat pendudukan militer Israel. Sementara Gaza, yang juga diduduki Israel, tengah dilanda perang dahsyat.
Mengingat statusnya sebagai negara semu, pengakuan Palestina pada dasarnya bersifat simbolis. Ia menjadi pernyataan moral dan politik kuat, tapi nyaris tak mengubah situasi di lapangan.
Namun, simbolisme itu penting. Seperti disampaikan Menteri Luar Negeri David Lammy dalam pidatonya di PBB, "Inggris memikul tanggung jawab istimewa untuk mendukung solusi dua negara."
Bettmann via Getty Images
Pasukan Inggris menurunkan bendera Union Jack sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Inggris di Palestina pada 1948.
Lammy juga mengutip Deklarasi Balfour 1917—yang ditandatangani pendahulunya, Arthur Balfour—yang pertama kali menyatakan dukungan Inggris bagi "pendirian tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina."
Tapi, menurut Lammy, deklarasi itu disertai janji luhur bahwa "tak ada yang boleh merugikan hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina."
Pendukung Israel kerap menekankan bahwa Lord Balfour tak secara eksplisit menyebut orang Palestina atau hak nasional mereka.
Namun, wilayah yang dulu dikenal sebagai Palestina—yang diperintah Inggris melalui mandat Liga Bangsa-Bangsa dari 1922 hingga 1948—lama dianggap sebagai urusan internasional yang belum tuntas.
Israel berdiri pada 1948, tapi upaya mendirikan negara Palestina selalu gagal karena berbagai alasan.
Sebagaimana dikatakan Lammy, para politisi "sudah terbiasa mengucapkan ‘solusi dua negara’."
Istilah ini merujuk pada pembentukan negara Palestina berdampingan dengan Israel, meliputi Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur) dan Jalur Gaza, kira-kira sesuai batas sebelum Perang Arab-Israel 1967.
Namun, upaya internasional mewujudkannya kandas. Kolonisasi Israel di sebagian besar Tepi Barat—yang melanggar hukum internasional—telah mengubah konsep ini jadi sekadar slogan kosong.
Siapa Saja yang Mengakui Palestina?
Negara Palestina saat ini diakui oleh 147 dari 193 anggota PBB. Di PBB, Palestina berstatus "negara pengamat permanen," boleh ikut tapi tidak punya hak suara.
Dengan Prancis yang juga berjanji mengakui Palestina dalam beberapa pekan mendatang—dan jika Inggris benar-benar melakukannya—maka Palestina akan didukung oleh empat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (dua lainnya adalah Tiongkok dan Rusia).
Amerika Serikat, sekutu terkuat Israel, akan jadi satu-satunya yang menolak.
Washington memang mengakui Otoritas Palestina (yang saat ini dipimpin Mahmoud Abbas) sejak pertengahan 1990-an, tapi enggan mengakui Palestina sebagai negara.
Beberapa presiden AS menyatakan dukungan bagi pembentukan negara Palestina. Tapi Donald Trump bukan salah satunya. Di bawah pemerintahannya, kebijakan AS sangat memihak Israel.
Tanpa dukungan sekutu terdekat dan terkuat Israel, mustahil proses perdamaian akan menghasilkan solusi dua negara.
Mengapa Inggris Bertindak Sekarang?
Pemerintah Inggris sebelumnya selalu bicara soal pengakuan Palestina, tapi hanya sebagai bagian dari proses perdamaian, idealnya bersama sekutu Barat lain, dan "di momen paling tepat."
Melakukannya sekadar sebagai gestur dinilai salah—mungkin terkesan mulia, tapi tak mengubah apa pun.
Namun, peristiwa terkini memaksa pemerintah bertindak.
Kelaparan di Gaza, kemarahan atas operasi militer Israel, dan pergeseran opini publik Inggris—semua ini mempengaruhi kebijakan.
Desakan dari parlemen bahkan kabinet semakin keras.
Dalam debat di parlemen pekan lalu, Lammy dihujani pertanyaan mengapa Inggris belum mengakui Palestina.
Menteri Kesehatan Wes Streeting menyuarakan banyak anggota parlemen saat mendesak pemerintah mengakui Palestina "selagi masih ada negara Palestina yang bisa diakui."
Reuters
Para ahli keamanan pangan PBB memperingatkan bahwa "skenario terburuk kelaparan sedang terjadi di Jalur Gaza."
Tapi Inggris tidak sekadar mengikuti langkah Emmanuel Macron pekan lalu atau pemerintah Irlandia, Spanyol, dan Norwegia tahun lalu.
Sir Keir membuat pengakuannya bersyarat: Inggris akan bertindak kecuali pemerintah Israel mengambil langkah tegas mengakhiri penderitaan di Gaza, setuju gencatan senjata, tidak mencaplok wilayah Tepi Barat—langkah yang secara simbolis diancamkan parlemen Israel (Knesset) pekan lalu—dan berkomitmen pada perdamaian menuju solusi dua negara.
Downing Street tahu hampir mustahil Netanyahu dalam enam pekan mendatang bakal berkomitmen pada proses perdamaian semacam itu. Ia berkali-kali menolak pembentukan negara Palestina.
Jadi, pengakuan Inggris terhadap Palestina hampir pasti terjadi.
Meski Netanyahu menentang habis-habisan, Sir Keir berharap ini benar-benar "momen paling tepat."
Tapi Inggris 2025 bukan Inggris 1917 saat Deklarasi Balfour ditandatangani. Pengaruhnya untuk memaksa pihak lain terbatas. Sulit diprediksi apa dampak sebenarnya nanti.