Sanksi Ditujukan pada Jaringan Pengiriman yang Dikendalikan oleh Mohammad Hossein Shamkhani, Putra Penasihat Utama Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Departemen Keuangan Amerika Serikat telah memberlakukan sanksi baru terhadap lebih dari 100 individu, perusahaan, dan kapal laut yang terkait dengan Iran. Langkah ini disebut sebagai "aksi terbesar terkait Iran sejak 2018".
Sanksi yang diumumkan pada Rabu (3/7) menargetkan lebih dari 50 kapal yang dideskripsikan sebagai bagian dari "kerajaan pengiriman besar" milik Mohammad Hossein Shamkhani—putra dari penasihat politik senior Ayatollah Ali Khamenei. Menurut Departemen Keuangan AS, jaringan ini mengangkut minyak, produk petroleum, serta kargo lainnya dari Iran dan Rusia ke pembeli global, menghasilkan untung puluhan miliar dolar.
"Kekayaan besar keluarga Shamkhani memperlihatkan bagaimana elit rezim Iran memanfaatkan posisi mereka untuk mengumpulkan kekayaan dan mendanai perilaku berbahaya rezim," ujar Menteri Keuangan Scott Bessent. Ia menambahkan, sanksi terhadap 115 individu, entitas, dan kapal ini merupakan yang terbesar sejak era Trump memberlakukan tekanan maksimal terhadap Iran.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran menyebut sanksi ini sebagai "contoh nyata permusuhan AS terhadap bangsa Iran", dilaporkan oleh Student News Network. Pernyataan Departemen Keuangan AS juga mengungkap bahwa keluarga Shamkhani menguasai porsi signifikan ekspor minyak mentah Iran. Meski ayah Hossein, Ali Shamkhani, telah disanksi AS pada 2020, keluarga ini masih memiliki properti eksklusif di berbagai negara dan memegang paspor asing, memungkinkan mereka bepergian diam-diam untuk urusan bisnis.
"Lapisan perusahaan front yang tampak biasa dan tak terhubung jelas dengan jaringan Hossein memungkinkan mereka meraup untung besar sambil menghindari pengawasan," tulis pernyataan tersebut.
Secara total, sanksi baru ini menarget 15 perusahaan pelayaran, 52 kapal, 12 individu, dan 53 entitas di 17 negara—dari Panama hingga Italia dan Hong Kong, menurut laporan Reuters. Seorang pejabat AS mengatakan sanksi akan menyulitkan Iran menjual minyaknya, namun tidak mengganggu pasar minyak global secara signifikan.
China merupakan pembeli utama minyak Iran.
Sanksi ini muncul setelah Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menegaskan bahwa agresi baru terhadap Iran akan dapat respons keras. Melalui unggahan di X (28/7), Araghchi menanggapi ancaman Presiden AS Donald Trump yang mengancam serangan jika Iran mencoba menghidupkan kembali program nuklirnya.
"Iran, bangsa berbudaya kaya dari peradaban 7.000 tahun, tidak akan pernah menanggapi bahasa ancaman. Kami hanya merespek hormat," tulisnya. "Kami tahu persis apa yang terjadi selama agresi AS-Israel terakhir—termasuk dampak yang masih disensor. Jika diulang, reaksi kami akan lebih tegas dan TAK MUNGKIN disembunyikan."
Ia menambahkan, "Tak ada orang waras yang akan meninggalkan investasi besar dalam teknologi damai penyelamat hidup hanya karena tuntutan [asing yang suka mengintimidasi]."
Iran, bangsa berbudaya kaya dari peradaban 7000 tahun, takkan pernah menanggapi bahasa ancaman. Rakyat Iran tak pernah tunduk pada asing dan hanya merespek hormat.
Iran tahu persis apa yang terjadi selama…
— Seyed Abbas Araghchi (@araghchi) 28 Juli 2025