Amerika Serikat mengumumkan akan memberlakukan sanksi terhadap organisasi pemerintahan mandiri Palestina serta badan yang mewakilinya di tingkat internasional.
Sanksi ini menyentuh Otoritas Palestina (PA) yang dibentuk melalui Perjanjian Damai Oslo, dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diakui sebagai perwakilan resmi rakyat Palestina setelah mengakui Israel dan melepaskan kekerasan.
Departemen Luar Negeri AS menyatakan akan menolak visa bagi anggota PLO dan pejabat PA.
Waktu dan bahasa pernyataan ini mengisyaratkan bahwa ini adalah respons pemerintahan Trump terhadap konferensi PBB yang dipimpin Prancis-Arab Saudi pekan ini guna menggalang dukungan bagi solusi dua negara.
Pertemuan itu terjadi saat Prancis, Inggris, dan Kanada berkomitmen mengakui negara Palestina yang merdeka dan non-militer tahun ini, dalam beberapa kasus dengan syarat tertentu.
AS mengkritik langkah ini, setelah sebelumnya memperingatkan konsekuensi diplomatik jika peserta konferensi membuat pernyataan “anti-Israel”.
Dalam pengumuman sanksinya, Departemen Luar Negeri menuduh PA dan PLO mengambil tindakan untuk “menginternasionalkan konfliknya dengan Israel, seperti melalui Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ)”.
AS juga menyebut keluhan lama bahwa PLO dan PA terus “mendukung terorisme, termasuk hasutan dan pemujaan kekerasan (terutama dalam buku pelajaran), serta memberikan tunjangan kepada teroris Palestina dan keluarga mereka”.
Pemerintahan Trump awal tahun ini mencabut sanksi terhadap pemukim Israel yang membunuh warga Palestina di Tepi Barat.
Seorang politikus Palestina terkemuka menyebut sanksi ini sebagai “balas dendam” AS atas pengakuan kedaulatan Palestina oleh semakin banyak negara.
PA tampak menyuarakan hal itu dalam pernyataan Kamis lalu:
“Kampanye ini meningkat sebagai respons atas pencapaian signifikan diplomasi Palestina, terutama pengakuan Negara Palestina oleh sejumlah negara kunci, konferensi PBB di New York, dan deklarasi bersejarah yang dihasilkan.”
Mustafa Barghouti, pendiri Inisiatif Nasional Palestina (bagian dari PLO), mengatakan AS salah sasaran:
“Alih-alih menghukum pelaku kejahatan perang di Gaza dan Tepi Barat, yaitu Israel, pemerintahan Trump justru menghukum korban, yaitu rakyat Palestina.”
Israel menyambut baik sanksi ini dan berterima kasih kepada Menlu AS Marco Rubio.
Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar menyebut langkah ini “mengungkap distorsi moral negara-negara yang buru-buru mengakui negara Palestina virtual sambil menutup mata terhadap dukungannya pada teror”.
PA selalu menolak tuduhan soal “gaji”, menyebutnya sebagai tunjangan untuk keluarga tahanan Palestina yang ditahan di bawah pendudukan militer Israel, banyak di antaranya tanpa proses hukum dan melanggar Konvensi Jenewa.
Palestina memandang semua tahanan Israel sebagai tahanan politik, mengingat pengadilan militernya memiliki tingkat vonis 99%. Pejabat Prancis minggu lalu mengatakan PA bersedia menghentikan pembayaran ini sebagai imbalan pengakuan Prancis.
Konferensi PBB semakin mengisolasi AS dalam dukungannya terhadap cara Israel melanjutkan perang di Gaza, yang dikritik banyak negara.
Konferensi ini juga memperlihatkan kekosongan strategis yang ditinggalkan AS, yang sebelumnya memimpin upaya diplomatik menuju perdamaian jangka panjang.
Larangan bepergian bagi pejabat Palestina mungkin lebih terbatas dibanding sanksi finansial penuh. Proses pengajuan visa ke AS bagi pejabat PA dan PLO sudah sulit dan jarang disetujui.
Belum jelas apakah langkah ini mempengaruhi pejabat misi Palestina di PBB New York. Duta Besar Palestina untuk PBB saat ini dan wakilnya adalah warga AS.