Intensitas reaksi keras terkini terhadap Alaa Abdelfattah di Inggris sungguh mencengangkan – bukan karena merefleksikan kepedulian baru akan keadilan, melainkan karena ia mengungkap bagaimana kemarahan publik dikerahkan secara selektif.
Alaa, seorang penulis dan aktivis Mesir-Inggris, menghabiskan lebih dari satu dekade keluar-masuk penjara Mesir menyusul pemberontakan 2011 yang menjatuhkan Presiden Hosni Mubarak. Masa tahanannya ditandai oleh aksi mogok makan berkepanjangan, pengingkaran hak-hak dasar, serta perlakuan yang oleh organisasi HAM digambarkan sebagai kejam dan merendahkan martabat. Ia dibebaskan pada 23 September setelah kampanye bertahun-tahun oleh ibu, saudari perempuan, dan sahabat-sahabat dekatnya. Larangan bepergian terhadapnya baru dicabut bulan ini, dan ia akhirnya dapat bergabung dengan keluarganya di Inggris pada 26 Desember.
Alaa meninggalkan belasan tahun represi di Kairo, hanya untuk disambut di London dengan serangan publik dan seruan pencabutan kewarganegaraan Inggris serta deportasinya. Permusuhan publik ini dipicu oleh terkuaknya sebuah unggahan media sosial dari tahun 2010 di mana Alaa menyatakan ia menganggap “membunuh para penjajah … adalah heroik”, termasuk kaum Zionis.
Cuitan tersebut telah dikutuk secara luas, dilaporkan ke polisi kontraterorisme untuk ditinjau, dan dijadikan alat oleh politisi yang menyerukan tindakan punitif.
Kecepatan dan intensitas reaksi ini berbanding terbalik dengan keheningan menyangkut pernyataan dan tindakan yang jauh lebih berdampak, yang tidak saja ditoleransi tetapi justru difasilitasi aktif oleh Inggris.
Inilah wujud kemarahan yang dipilih-pilih.
Sementara kata-kata Alaa dibedah dan dibingkai sebagai keadaan darurat moral, Inggris terus menerima dan berkolaborasi dengan pejabat tinggi Israel yang dituding terlibat dan menghasut genosida.
Sebagai contoh, pada Juli lalu, Kepala Angkatan Udara Israel, Tomer Bar – orang yang mengawasi pemboman membabi-buta di Gaza, penghancuran rumah sakit, sekolah, rumah tinggal, serta pemusnahan seluruh keluarga – diberikan kekebalan hukum khusus untuk mengunjungi Inggris. Pelaporan oleh Declassified UK menunjukkan bahwa kekebalan ini melindunginya dari penangkapan atas dugaan kejahatan perang saat berada di wilayah Inggris.
Tidak ada kemarahan publik yang setara terkait hal ini.
Presiden Israel, Isaac Herzog, juga dapat berkunjung ke Inggris pada September dan mengadakan pertemuan tingkat tinggi. Ini adalah orang yang sama yang, di awal genosida, menyatakan bahwa “seluruh [bangsa Palestina] bertanggung jawab” dan bahwa “Retorika tentang warga sipil yang tidak sadar, tidak terlibat – itu tidak benar.” Pernyataan ini serta lainnya dari Herzog telah dikumpulkan dalam basis data besar yang mendukung kasus genosida terhadap Israel di International Court of Justice (ICJ).
Namun, meski dituding menghasut genosida, Presiden Israel itu memasuki Inggris tanpa masalah dan disambut oleh Perdana Menteri Keir Starmer. Kalangan yang begitu mencemaskan cuitan Alaa sama sekali tidak menunjukkan kemarahan atas kunjungan seorang calon penjahat perang ini.
Mereka juga bungkam tentang warga negara Inggris yang pergi untuk bertugas di militer Israel, termasuk selama serangan Israel di Gaza dan genosida yang masih berlangsung. Operasi-operasi ini, yang didokumentasikan oleh PBB, Amnesty International, dan Human Rights Watch, telah mengakibatkan puluhan ribu kematian warga sipil, penghancuran rumah sakit dan universitas, serta pemusnahan seluruh lingkungan permukiman.
Terlepas dari dokumentasi luas atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, serta peringatan ICJ tentang risiko serius genosida, tidak ada penyelidikan sistematis atas kemungkinan keterlibatan warga negara Inggris dalam pelanggaran hukum internasional.
Lagi-lagi, hampir tidak ada kemarahan yang konsisten.
Di saat bersamaan, Inggris terus menerbitkan lisensi ekspor senjata ke Israel dan melanjutkan kerja sama politik, militer, dan intelijen. Kebijakan-kebijakan ini bertahan bahkan ketika badan-badan internasional telah memperingatkan konsekuensi kemanusiaan yang parah dan potensi pelanggaran hukum internasional. Semua ini berlangsung dengan relatif sedikit konsekuensi politik.
Namun, justru sebuah cuitan berusia satu dekade – bukan pembunuhan massal, bukan pengepungan, bukan penghancuran kehidupan sipil secara besar-besaran, bukan hasutan genosida – yang memicu kepanikan politik di Inggris.
Kontras ini bukanlah kebetulan. Ini mengungkap hierarki kemarahan di mana suara-suara pembangkang diawasi dan dihukum, sementara kekerasan negara tidak; di mana permusuhan publik diarahkan ke bawah pada individu, bukan ke atas pada kekuasaan. Kasus Alaa menunjukkan bagaimana bahasa moral dikerahkan secara selektif – bukan untuk membatasi impunitas, melainkan untuk mengelola ketidaknyamanan.
Asimetri ini menggerogoti kredibilitas prinsip-prinsip yang diklaim Inggris junjung. Ketika hak asasi manusia dibela secara pilih-pilih, ia menjadi alat kepatutan daripada norma universal. Ketika kemarahan lantang tetapi inkonsisten, ia menjadi performatif. Dan ketika akuntabilitas ditahan dari sekutu yang berkuasa, impunitas mengeras menjadi kebijakan.
Mereka yang membela pendekatan ini kerap mengangkat “diplomasi diam-diam”, berargumen bahwa menahan diri lebih efektif daripada konfrontasi. Namun, sedikit sekali bukti bahwa keheningan telah menghasilkan akuntabilitas – baik bagi Alaa maupun bagi warga sipil yang mengalami kekerasan massal di Gaza. Dalam kedua kasus, kebijaksanaan berfungsi lebih sebagai izin daripada strategi.
Inggris memiliki sarana untuk bertindak berbeda: Menangguhkan ekspor senjata, menyelidiki potensi kejahatan oleh warganya, mengkondisikan kerja sama pada penghormatan hukum internasional, membatasi kunjungan pejabat yang terlibat pelanggaran berat. Kenyataan bahwa sarana-sarana ini sebagian besar tidak terpakai justru sangat revelan.
Selama itu tidak berubah, kemarahan akan tetap selektif, akuntabilitas bersyarat, dan impunitas tak terganggu – memperlebar jurang antara nilai-nilai yang diakui Inggris dan kekerasan yang terus ia fasilitasi.
Pandangan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan sikap editorial Al Jazeera.