Michelle Fleury
Koresponden Bisnis Amerika Utara
Nathalie Jimenez
Reporter Bisnis
Melaporkan dari Fayette County, Georgia
Tonton: Beverley Morris menyiram toiletnya menggunakan ember karena tekanan air rendah.
Ketika Beverly Morris pensiun pada 2016, ia mengira telah menemukan rumah impiannya—sebidang tanah tenang di pedesaan Georgia, dikelilingi pepohonan dan ketenangan.
Kini, semuanya berubah.
Hanya 400 yard (366 meter) dari teras depannya di Fayette County, berdiri gedung besar tanpa jendela yang dipenuhi server, kabel, dan lampu yang berkedip.
Itu adalah pusat data—salah satu dari banyak yang bermunculan di kota-kota kecil di Amerika dan seluruh dunia, menggerakkan segalanya mulai dari perbankan online hingga alat kecerdasan buatan seperti ChatGPT.
"Aku tak bisa tinggal di rumah dengan setengah fasilitas tak berfungsi dan tanpa air," kata Morris. "Aku tak bisa minum airnya."
Ia meyakini pembangunan pusat data milik Meta (induk perusahaan Facebook) mengganggu sumur pribadinya, menyebabkan penumpukan sedimen berlebihan. Kini, Morris mengangkut air dengan ember untuk menyiram toilet.
Dia mengatakan harus memperbaiki pipa di dapur untuk memulihkan tekanan air. Tapi air yang keluar dari keran masih mengandung residu.
"Aku takut meminumnya, tapi masih masak dan sikat gigi pakai air itu," ujarnya. "Apakah aku khawatir? Tentu."
Meta, bagaimanapun, menyatakan keduanya tidak terkait.
Dalam pernyataan ke BBC, Meta mengatakan bahwa "menjadi tetangga yang baik adalah prioritas." Perusahaan itu memesan studi air tanah independen untuk menyelidiki kekhawatiran Morris. Menurut laporan, operasi pusat data mereka "tidak berdampak buruk pada kondisi air tanah di area tersebut."
Meski Meta membantah sebagai penyebab masalah air Morris, baginya, perusahaan itu jelas sudah tak lagi diterima sebagai tetangga.
"Tadinya ini tempat sempurna buatku," katanya. "Tapi sekarang tidak lagi."
Pusat data raksasa dibangun di seluruh Georgia
Kita sering mengira "awan" (cloud) sebagai sesuatu yang tak kasatmata—melayang di dunia digital. Namun kenyataannya sangat fisik.
Awan itu hidup di lebih dari 10.000 pusat data di seluruh dunia, sebagian besar berlokasi di AS, diikuti Inggris dan Jerman.
Dengan AI yang mendorong lonjakan aktivitas online, jumlah itu tumbuh cepat. Bersamanya, keluhan warga sekitar pun bertambah.
Booming pusat data di AS kini ditentang oleh gerakan lokal—dengan proyek senilai $64 miliar (£47 miliar) ditunda atau dihentikan di seluruh negeri, menurut laporan kelompok penekan Data Center Watch.
Yang dikhawatirkan bukan cuma pembangunannya, tapi juga penggunaan air. Mendinginkan server membutuhkan banyak air.
"Prosesor ini sangat panas," kata Mark Mills dari National Center for Energy Analytics dalam kesaksian di Kongres April lalu. "Permukaan setiap chip lebih panas dari permukaan matahari. Butuh banyak air untuk mendinginkannya."
Banyak pusat data menggunakan sistem pendingin evaporatif, di mana air menyerap panas lalu menguap—mirip keringat yang menyerap panas dari tubuh. Di hari panas, satu fasilitas bisa memakai jutaan galon air.
Satu studi memperkirakan pusat data berbasis AI bisa menghabiskan 1,7 triliun galon air global pada 2027.
Tak ada tempat yang lebih jelas menggambarkan ketegangan ini selain Georgia—salah satu pasar pusat data dengan pertumbuhan tercepat di AS.
Iklim lembabnya menyediakan sumber air alami yang lebih murah untuk pendinginan, menarik minat pengembang. Tapi kelimpahan itu mungkin ada harganya.
Gordon Rogers, direktur eksekutif Flint Riverkeeper, membawa kami ke anak sungai di bawah lokasi pembangunan pusat data oleh Quality Technology Services (QTS).
George Diets, relawan lokal, mengambil sampel air ke kantong plastik bening. Warnanya keruh dan cokelat.
"Seharusnya tidak seperti ini," katanya. Menurutnya, ini mengindikasikan limpasan sedimen—mungkin juga bahan kimia flokulan yang digunakan dalam konstruksi. Jika bocor ke sistem air, bisa menciptakan lumpur.
QTS mengatakan pusat data mereka memenuhi standar lingkungan tinggi dan membawa jutaan pendapatan pajak lokal.
Tapi warga setempatlah yang harus menghadapi konsekuensinya.
"Mereka seharusnya tidak melakukan ini," kata Rogers. "Pemilik properti kaya tak punya hak lebih besar daripada yang kecil."
Perusahaan teknologi mengklaim sedang bertindak
"Target kami, tahun 2030, kami akan mengembalikan lebih banyak air ke daerah aliran sungai daripada yang kami pakai," kata Will Hewes dari Amazon Web Services (AWS), yang mengoperasikan pusat data terbanyak di dunia.
AWS berinvestasi dalam perbaikan kebocoran, penampungan air hujan, dan penggunaan air limbah untuk pendinginan. Di Virginia, mereka bekerja dengan petani mengurangi polusi di Teluk Chesapeake.
Di Afrika Selatan dan India—di mana AWS tidak memakai air untuk pendinginan—mereka tetap berinvestasi dalam akses air.
Di Amerika, kata Hewes, air hanya dipakai pada 10% hari terpanas setiap tahun.
Tapi jumlahnya tetap besar. Satu permintaan ke ChatGPT bisa memakai air sebanyak botol kecil. Kalikan dengan miliaran permintaan per hari, skalanya jadi jelas.
Takut tidak bisa dihindari, tapi ada solusi
Prof. Rajiv Garg, pengajar komputasi awan di Emory University, mengatakan pusat data takkan hilang—mereka justru jadi tulang punggung kehidupan modern.
"Tidak bisa mundur," katanya.
Tapi ada jalan ke depan: sistem pendingin lebih cerdas, penampungan air hujan, dan infrastruktur efisien.
Dalam jangka pendek, pusat data akan membebani, tapi industri mulai beralih ke keberlanjutan.
Sayangnya, itu sedikit hiburan bagi pemilik rumah seperti Beverly Morris—terjebak antara mimpi masa lalu dan infrastruktur masa depan.
Pusat data bukan sekadar tren industri, tapi bagian kebijakan nasional. Presiden Donald Trump berjanji membangun proyek infrastruktur AI terbesar dalam sejarah.
Di Georgia, matahari menyengat di udara lembab—pengingat mengapa negara bagian ini menarik bagi pengembang pusat data.
Bagi warga, masa depan teknologi sudah tiba. Dan ia berisik, haus air, dan terkadang sulit untuk jadi tetangga.
Seiring AI tumbuh, tantangannya jelas: bagaimana memberi tenaga dunia digital tanpa menguras sumber daya paling dasar—air.
Baca lebih banyak cerita bisnis global.