Kepala sebuah perusahaan infrastruktur data bilang kalo kecerdasan artifisial (AI) bakal jadi pendorong pertumbuhan yang sangat penting untuk ekonomi Afrika. Negara-negara Afrika juga bakal ekspor AI mereka sendiri dalam beberapa tahun ke depan.
Di Fortune’s Global Forum di Riyadh, Arab Saudi, hari Minggu, pendiri dan CEO Amini, Kate Kallot, bilang perusahaannya sedang membangun daya komputasi. Daya ini akan memungkinkan solusi AI yang dirancang khusus untuk Afrika.
Mantan eksekutif Nvidia ini juga meramalkan AI akan nambah $2,9 triliun ke ekonomi Afrika dalam lima tahun depan. Ini terjadi karena pemerintah mulai lihat data dan kapasitas komputasi sebagai infrastruktur penting, sama seperti jalan dan rumah sakit.
Kallot bilang, seiring investasi infrastruktur tumbuh, pemerintah minta model bahasa besar (LLM) yang dipakai di Afrika benar-benar mencerminkan keadaan lokal. Hal ini penting karena hampir satu miliar orang Afrika masih belum terhubung internet, sedangkan LLM biasanya dilatih pakai data dari internet.
Dia nambahin bahwa pola pikir baru tentang kemitraan strategis ini sudah merambat dari tingkat pemerintah ke sektor swasta. Banyak startup baru bermunculan yang akan membantu membentuk masa depan negara dan ekonomi mereka.
“Kami lihat teknologi dan AI punya potensi untuk jadi penyeimbang terbesar yang pernah dilihat Afrika,” kata Kallot.
Tapi, dia tunjukin bahwa hal ini belum tercermin dalam cerita global, yang belum mengakui inovasi AI dari Afrika.
Nyatanya, benua Afrika justru memimpin dalam mengembangkan AI yang efisien, bertanggung jawab, dan inklusif. Dan dunia sebentar lagi akan mengetahuinya.
“Dalam 5 sampai 10 tahun ke depan, kita akan lihat kecerdasan dari Afrika di-ekspor ke negara-negara lain di Global Selatan,” ujar Kallot.
**Mengubah Cerita Global**
Menurut Ndidi Okonkwo Nwuneli, CEO kelompok advokasi global One Campaign, narasi negatif tentang Afrika itu punya biaya yang mahal.
Bias itu telah buat biaya pinjaman untuk negara-negara Afrika menjadi lebih mahal. Laporan negatif tentang wilayah ini diperkirakan menelan biaya $4,2 miliar. Padahal, sebenarnya, beberapa sektor justru melihat pengembalian investasi setinggi 10 kali lipat.
“Kami sedang mengubah narasinya. Kami bilang Afrika adalah tentang return on investment, bukan risiko,” katanya kepada Diane Brady dari Fortune. “Dan sekaranglah waktunya untuk bermitra dengan kami dengan pembiayaan yang adil yang memberikan hasil dan menciptakan pekerjaan.”
Membalikkan cerita ini juga jadi pemikiran utama bagi Boris Kodjoe, salah satu pendiri platform investasi dan dampak Full Circle Africa.
Aktor Hollywood dan mantan model ini bilang bahwa diaspora Afrika — yang terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India — telah mengatur modalnya dalam beberapa tahun terakhir. Mereka adalah kunci dalam cerita pertumbuhan ini.
Kodjoe jelasin bahwa ekonomi Afrika hari ini adalah muda, kreatif, digital, dan bergerak cepat. Afrika mendefinisikan diri dengan budaya dan teknologi, bukan hanya dengan sumber daya alamnya.
“Afrika adalah satu-satunya wilayah di mana populasinya semakin muda, semakin terhubung, dan semakin wirausaha, semua pada saat yang bersamaan,” tambahnya. “Saya pikir dunia tidak lagi tanya ‘mengapa Afrika,’ tapi ‘kapan kami bisa masuk?’ Dan saya rasa waktunya adalah sekarang.”