Konsumen Amerika dan Federal Reserve sedang menghadapi tarif Presiden Donald Trump dan dampaknya pada inflasi. Tapi, ekonomi global mungkin malah dapat sedikit keringanan harga.
Di AS, tarif belum naikkan harga sebanyak yg di prediksi, tapi inflasi tetap naik. Ini jadi hambatan utk pemotongan suku bunga yg sdh ditunggu dari Federal Reserve.
Indeks harga konsumen (CPI) terakhir naik 2,7% per tahun di Juli, lebih rendah dari prediksi 2,8% dan sama seperti bulan Juni. Tapi CPI inti masih naik ke 3,1% dari 2,9%. Capital Economics memperkirakan efek tarif akan meningkat perlahan di sisa tahun ini.
Di luar AS, situasinya beda. "Kami ragu tarif AS akan pengaruhi inflasi di negara lain secara signifikan. Justru efeknya mungkin sedikit menurunkan inflasi," tulis Simon MacAdam dan Ariane Curtis dari Capital Economics.
Ini karena kebanyakan negara tidak balas tarif AS dengan tarif sendiri pada barang AS. Bahkan, bea impor AS di beberapa kasus malah turun.
Misalnya, dalam perjanjian dagang Trump dengan Indonesia, Indonesia setuju hapus tarif utk hampir semua barang AS. Tapi AS justru kenakan tarif 19% pada impor dari Indonesia.
"Selain itu, penurunan permintaan global harusnya tekan tekanan harga. Sementara ekspor China yg dialihkan dari AS ke pasar lain bisa turunkan harga impor," tambah Capital Economics.
Sebaliknya, tekanan inflasi lebih besar mengancam konsumen AS. Perusahaan belum banyak menaikkan harga akibat tarif, tapi ini tidak akan bertahan lama, peringatkan MacAdam dan Curtis.
Ritel rela serap biaya tarif awal dengan mengorbankan margin. Survei tunjukkan perusahaan AS alami kenaikan biaya signifikan—berbeda dengan negara lain.
"Dengan banyak perjanjian dagang yg disepakati, sekarang lebih jelas berapa tarif akhirnya. Ini harusnya bikin ritel akhirnya naikkan harga," tambah mereka.
Deflasi di China
Tidak semua negara alami dampak tarif yg sama. China akan lebih parah karena tarif AS ke Beijing lebih tinggi dibanding kebanyakan negara lain.
Menurut Robin Brooks dari Brookings Institution, ini jadi guncangan deflasi untuk ekonomi terbesar kedua dunia.
Ekonomi China hampir mengalami deflasi, karena harga konsumen lemah dan harga produsen terus turun. Perang dagang akan perburuk situasi.
Ekspor China ke AS anjlok beberapa bulan terakhir, tapi naik pesat di negara lain. Brooks menulis di Substack bulan lalu bahwa China mungkin gunakan negara lain dengan tarif lebih rendah utk kirim barang ke AS, sambil tingkatkan ekspor ke pasar non-AS.
Kedua hal ini beri tekanan deflasi ke China. Ekspor via negara ketiga tambah biaya transportasi dan turunkan laba perusahaan China. Sementara ekspor lebih banyak ke pasar lain memaksa harga turun agar ada permintaan.
"Bagaimanapun juga, profitabilitas eksportir China akan terpukul," jelas Brooks. "Untuk negara seperti China yg sangat tergantung ekspor dan hampir deflasi, ini prospek yg mengkhawatirkan."
Memperkenalkan Fortune Global 500 2025, ranking definitif perusahaan terbesar di dunia. Jelajahi daftar tahun ini.