Pada September 1919, Perusahaan Coca-Cola (KO) mulai dijual di bursa dengan harga $40 per saham. Saat itu, dunia baru keluar dari Perang Dunia I, mobil masih barang mewah, dan minuman ringan terutama dijual di warung soda. Sedikit investor yang bisa bayangkan, satu saham yang dibeli waktu itu, dan dipegang dengan sabar, suatu hari nanti akan bernilai $29.4 juta di Desember 2025 (asumsikan dividen diinvestasikan kembali).
Tapi itu yang ditunjukkan data jangka panjang. Angka yang menakjubkan ini bukan hasil dari timing pasar yang beruntung, informasi dari dalam, atau perdagangan spekulatif. Melainkan, ini mencerminkan salah satu kekuatan terkuat di keuangan yang sering diremehkan: bunga berbunga (compounding).
Kenaikan Coca-Cola selama seabad adalah contoh studi tentang nilai membeli dan memegang bisnis berkualitas untuk periode panjang. Walau perusahaan menghadapi perang, resesi, inflasi tinggi, perubahan selera konsumen, dan persaingan ketat, mereka tetap untung, bisa beradaptasi, dan ramah pada pemegang saham.
Selama beberapa dekade, Coca-Cola tidak hanya menaikkan harga saham. Mereka konsisten membayar dividen — pembagian uang tunai ke pemegang saham — yang, saat diinvestasikan kembali, membeli saham tambahan. Saham tambahan itu lalu menghasilkan dividen sendiri, menciptakan siklus pertumbuhan yang menguatkan diri.
Efek bunga berbunga inilah yang mengubah investasi awal yang sederhana menjadi kekayaan turun-temurun.
Banyak dari return jangka panjang Coca-Cola datang bukan dari kenaikan harga dramatis, tapi dari dividen yang dibayar dan dinaikkan secara stabil dari waktu ke waktu. Perusahaan ini sudah bayar dividen sejak 1920 dan menaikkannya selama lebih dari enam dekade, menjadikannya salah satu “Raja Dividen” paling terkenal dalam sejarah ekonomi Amerika.
Menginvestasikan kembali dividen itu sangat penting. Tanpa reinvestasi, nilai akhir akan jauh lebih rendah. Dengannya, setiap dekade yang lewat memperbesar kepemilikan investor, bahkan saat harga saham stagnan.
Pada intinya, dividen memungkinkan investor terus membeli Coca-Cola di setiap level harga: saat boom, jatuh, dan di antara keduanya.
Bertahan dari Badai
Cerita Berlanjut
Seorang investor Coca-Cola yang beli dan tahan akan melewati:
Depresi Besar
Perang Dunia II
Krisis inflasi tahun 1970-an
Gelembung dan ledakan dot-com
Krisis Keuangan Global
Pandemi COVID-19
Di banyak titik, menjual akan terasa “bijak”. Berita menakutkan, pasar bergejolak, dan ketidakpastian tinggi. Tapi sejarah menunjukkan bahwa tetap berinvestasi dan tidak bereaksi emosional adalah strategi yang menang.
Pelajaran nya bukan bahwa Coca-Cola kebal dari penurunan. Tidak. Pelajaran nya adalah waktu di pasar jauh lebih penting daripada ketakutan jangka pendek.
Walau angkanya menarik, sedikit investor yang benar-benar alami hasil seperti ini. Alasannya perilaku, bukan matematika:
Tidak sabar: Bunga berbunga lambat di awal dan dramatis hanya setelah beberapa dekade.
Overtrading: Sering beli dan jual mengganggu pertumbuhan jangka panjang.
Jual karena panik: Penurunan pasar sering mendorong investor keluar di saat terburuk.
Mengejar tren: Mode spekulatif mengalihkan perhatian dari bisnis yang tahan lama.
Transformasi Coca-Cola dari $40 ke $29.4 juta tidak terjadi mulus atau lurus. Sebagian besar kekayaan tercipta di dekade-dekade akhir, setelah banyak investor mungkin sudah menjual.
Kisah Coca-Cola tidak menyarankan investor hanya beli saham soda dan tunggu 100 tahun. Tapi, ini menggambarkan prinsip-prinsip luas yang masih berlaku:
Miliki bisnis, bukan ticker. Fokus pada perusahaan dengan merek tahan lama, kekuatan harga, dan jangkauan global.
Investasikan kembali pendapatan. Dividen dan reinvestasi kritis untuk return jangka panjang.
Biarkan bunga berbunga bekerja. Waktu adalah aset paling berharga yang investor miliki.
Abaikan kebisingan. Pasar naik turun, tapi bisnis kuat bertahan.
Di dunia yang semakin fokus pada keuntungan jangka pendek, pendapatan triwulanan, dan strategi trading viral, perjalanan bunga berbuka seabad Coca-Cola adalah pengingat bahwa kekayaan sering dibangun dengan diam-diam, sabar, dan melintasi generasi.
Investasi Warren Buffett di Coca-Cola adalah salah satu contoh bunga berbunga jangka panjang paling terkenal dalam sejarah. Berkshire Hathaway-nya (BRK.B) (BRK.A) mulai beli saham di akhir 1980-an, investasi sekitar $1.3 miliar, dan Buffett hanya memegangnya sementara perusahaan terus menaikkan dividennya tahun demi tahun.
Sekarang, Berkshire mengumpulkan ratusan juta dolar setiap tahun hanya dari dividen, menghasilkan yield on cost yang mengejutkan mendekati ~90%. Ini berarti Buffett sekarang dapat kembali hampir seluruh investasi aslinya setiap tahun dalam bentuk uang tunai, tanpa jual satu saham pun. Ini demonstrasi buku teks dari filosofi inti Buffett: beli bisnis yang bagus di harga wajar, pegang selama beberapa dekade, dan biarkan waktu serta dividen melakukan pekerjaan beratnya.
Satu saham Coca-Cola yang dibeli tahun 1919 tidak membuat siapa pun kaya dalam semalam. Tapi untuk investor yang bertahan, menginvestasikan kembali dividen, dan membiarkan bunga berbunga bekerja, akhirnya menjadi bernilai $29.4 juta.
Angka itu lebih dari statistik keuangan; itu bukti kekuatan luar biasa dari investasi jangka panjang. Beberapa saham seperti Consolidated Edison (ED) dan Procter & Gamble (PG) jejak akarnya di pasar publik bahkan lebih lama dari Coca-Cola, memberikan return yang bahkan lebih luar biasa (walaupun data tidak ada, jadi tidak sepenuhnya jelas). Tapi perjalanan Coca-Cola, terutama mengingat panjangnya dan konsistensinya, menunjukkan kekuatan bunga berbunga dan prinsip fundamental yang baik.
Pada tanggal publikasi, Caleb Naysmith tidak memiliki (baik langsung maupun tidak langsung) posisi dalam sekuritas apa pun yang disebut dalam artikel ini. Semua informasi dan data dalam artikel ini hanya untuk tujuan informasi. Artikel ini awalnya diterbitkan di Barchart.com