Resesi Tersembunyi AI: Krisis Tata Kelola Akibat Menyusutnya Lapangan Kerja dan Perlawanan Budaya

Kecerdasan Buatan (AI) mengubah dunia pekerjaan lebih cepat daripada peraturan atau pemimpin bisa menyesuaikan. Perusahaan di Amerika melaporkan produktivitas yang sangat tinggi, tapi gaji hampir tidak naik. Goldman Sachs memperkirakan bahwa otomatisasi AI bisa mempengaruhi sekitar 300 juta pekerjaan penuh-waktu di seluruh dunia. Para investor senang melihat efisiensi ini. Tapi sejarah menunjukan bahwa ketika pekerjaan menjadi langka, masyarakat membatasi kesempatan, dan perempuan sering yang jadi korban.

Polanya sudah familiar. Saat Depresi Besar dulu, banyak daerah di Amerika membuat peraturan "larangan menikah" yang melarang perempuan yang sudah menikah untuk bekerja atau memaksa mereka berhenti setelah menikah. Alasannya untuk "melindungi" pencari nafkah laki-laki. Setelah Perang Dunia II, pemerintah menutup tempat penitipan anak dan menyuruh perempuan untuk keluar dari pabrik supaya para tentara yang pulang bisa dapat pekerjaan lagi. Di Jepang dan Australia pasca perang, ada perjanjian bahwa laki-laki dapat jaminan pekerjaan seumur hidup, sementara perempuan diarahkan ke kerja paruh waktu atau kerja tanpa bayaran di rumah. Setiap kebijakan dianggap sebagai pemulihan moral, padahal sebenarnya itu adalah cara bagi-bagi sumber daya yang terbatas.

Sekarang, AI mungkin menyebabkan perubahan yang sama. Perusahaan yang "sedikit pegawainya" bisa meningkatkan hasil tanpa menambah pekerja. Pekerjaan yang dulu dianggap aman dari otomatisasi, seperti riset hukum, akuntan, dan layanan pelanggan, sekarang sedang diubah oleh perangkat lunak. Bagi banyak pekerja yang tergantikan, terutama profesional di tengah karier, program pelatihan ulang jarang bisa mengikuti kecepatan teknologi.

Saat pasar tenaga kerja terbelah, beberapa suara mulai menyalahkan kesetaraan gender sebagai masalah. Sebuah esai baru oleh komentator Helen Andrews berjudul "Mengatasi Feminisasi Budaya," mendapat perhatian yang tidak biasa. Andrews berpendapat bahwa makin banyaknya perempuan di dunia profesional dan publik membuat masyarakat jadi "terlalu berempati daripada rasional" dan "menghindari risiko daripada kompetitif". Dia bilang "feminisasi" ini adalah ancaman bagi peradaban. Menurut The New York Times, pidatonya sudah dilihat lebih dari 175,000 kali. Argumennya mendapat sambutan karena kecemasan ekonomi butuh penjelasan yang terasa moral. Sejarah menunjukan bahwa ketika perubahan struktural mengancam status seseorang, kerinduan akan hierarki lama sering disamarkan sebagai analisis yang rasional.

MEMBACA  3 Saham Dividen Tinggi untuk Dibeli dan Dipertahankan Selamanya

Sebuah Paradoks Ekonomi

Paradoks ekonominya jelas. Dalam jangka pendek, investor mungkin menghargai perusahaan yang tumbuh tanpa merekrut. Tapi kemakmuran jangka panjang bergantung pada partisipasi luas dalam pendapatan dan konsumsi. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), meningkatkan partisipasi tenaga kerja perempuan sampai setinggi laki-laki bisa menambah GDP hingga 35% di beberapa negara. Sebaliknya, mengucilkan perempuan, atau kelompok pekerja besar mana pun, akan mengecilkan pasar, inovasi, dan ketahanan ekonomi.

Pemerintah yang kesulitan keuangan juga memotong dukungan sosial seperti subsidi penitipan anak dan pelatihan kerja. Jika PHK makin cepat, godaan untuk menyamarkan kemunduran gender sebagai pembaharuan budaya akan meningkat. Tapi mengucilkan perempuan dari pekerjaan berbayar tidak hanya mengecilkan tenaga kerja, tapi juga membuatnya jadi lebih tua.

Di sebagian besar negara maju, perempuan sekarang menyumbang sebagian besar tenaga kerja baru di grup umur 25 sampai 54 tahun. Kelompok inilah yang mengimbangi penuaan di kalangan pekerja laki-laki. Ketika perempuan mundur atau didorong keluar, bakat dari usia produktif menyusut, padahal pekerja laki-laki yang lebih tua menunda pensiun. Hasilnya adalah tenaga kerja yang lebih kecil, kurang dinamis, dan menua lebih cepat, padahal seharusnya kita butuh yang sebaliknya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi.

Tanggung Jawab Perusahaan dan Pemerintah

Bagi dewan direksi dan investor, ini bukanlah masalah sampingan, ini adalah masalah inti tata kelola perusahaan. Para direktur harus menekan manajemen untuk menghitung bagaimana AI akan mengubah jumlah pegawai, campuran keahlian, dan kesetaraan gaji dalam lima tahun ke depan. Mereka harus memeriksa apakah alat-alat HR yang menggunakan algoritma menyebabkan bias tersembunyi, dan memastikan bahwa laporan modal manusia menjelaskan bagaimana otomatisasi mempengaruhi kesempatan berdasarkan gender dan usia. Perusahaan asuransi dan pemberi pinjaman sudah mulai memasukkan faktor-faktor ini ke dalam model risiko mereka.

MEMBACA  Tanda Kehormatan dan Brevet Komjen Purn Ari Dono, Alumnus Akpol Tahun 1985

Pertanyaan yang lebih besar adalah tentang izin sosial. Perusahaan tidak bisa sukses selamanya dalam ekonomi yang tidak bisa mempertahankan lapangan kerja penuh. Cerita tentang efisiensi jangka pendek bisa dengan cepat berubah menjadi masalah permintaan jangka panjang, dan, jika penolakan terhadap kesetaraan gender mendapatkan dukungan politik, menjadi masalah reputasi juga.

Pelajaran dari Sejarah

Ketika masyarakat takut menjadi usang, mereka sering mencari ketertiban dengan cara mengucilkan. Dorongan ini sudah ada sejak industrialisasi dimulai: ketika teknologi atau globalisasi mengancam hal yang biasa, lembaga-lembaga menegaskan kembali hierarki untuk menciptakan rasa stabil. Sekolah dulu mendorong anak perempuan keluar dari sains ketika pekerjaan langka; pabrik melarang perempuan masuk ke perdagangan yang bayarannya lebih tinggi untuk melindungi pekerjaan laki-laki; perusahaan di tahun 1980-an memuji kepemimpinan yang "tegas" dan "keras" saat otomatisasi mengurangi jabatan menengah. Setiap tanggapan ini menyamarkan pengucilan sebagai sebuah kebajikan: efisiensi, moral, atau prestasi, tapi semua punya tujuan yang sama: agar ketidakpastian terasa tertib.

Jadi kita sudah melihat ini sebelumnya, di ruang kelas, pabrik, dan hierarki perusahaan. Teknologinya yang berubah; nalurinya tidak.

AI akan mendefinisikan ulang bagaimana manusia menciptakan nilai. Apakah AI juga akan mendefinisikan ulang siapa yang diizinkan untuk menciptakan nilai, itu tergantung pada pilihan yang dibuat para pemimpin sekarang.

Efisiensi bisa membuat sebuah perusahaan lebih kuat dan sebuah masyarakat lebih rapuh pada saat yang bersamaan. Apa yang kita pilih untuk dioptimalkan akan memberitahu kita masa depan seperti apa yang pantas kita dapatkan.

Pendapat yang diungkapkan dalam tulisan komentar di Fortune.com adalah pandangan penulisnya sendiri dan tidak selalu mencerminkan pendapat dan keyakinan Fortune.