Aku bangun dari operasi agak pusing, dengan tiga luka kecil di perut tapi perasaan lega banget. Baru aja aku menjalani operasi pengangkatan tuba falopi secara laparoskopi, karena ini cara terbaik—mungkin satu-satunya—untuk mencegah kanker ovarium, yang meski jarang, adalah kanker ginekologi paling mematikan.
Ga ada metode deteksi buat kanker ovarium (banyak yang salah paham kalo pap smear bisa deteksi, padahal itu buat kanker serviks). Ini karena baru diketahui kalo 80% kanker ovarium terbentuk di tuba falopi, yang susah dijangkau atau diambil sampelnya. Jadi kanker biasanya baru ketahuan setelah menyebar, dan lebih sulit diobati, dengan tingkat kesembuhan cuma 15%.
Kanker ini dan lesi prakanker juga ga bisa dideteksi lewat tes darah.
Aku sendiri baru tau ini semua di tahun 2023, waktu aku nulis tentang Ovarian Cancer Research Alliance (OCRA) yang ngasih rekomendasi: semua wanita harus tes genetik buat tau risiko kanker, dan pertimbangkan salpingektomi oportunistik—angkat tuba falopi secara pencegahan kalau lagi menjalani operasi perut lainnya.
Strategi ini—didukung American College of Obstetrics & Gynecology sejak 2015—dipercaya bisa turunin risiko kanker ovarium sampe 60%. Rekomendasi ini muncul setelah studi di Inggris selama 20 tahun sama 200.000 wanita menunjukkan kalo skrining dan kesadaran gejala ga menyelamatkan nyawa.
Sebagai penyintas kanker payudara, bayangan kanker ovarium bersembunyi di tuba falopi bikin aku ngeri. Jadi pas ada kesempatan buat angkat tuba falopi waktu operasi perut kecil, aku langsung setuju.
Pemulihan dari bius—plus nyeri di bekas luka dan kembung karena gas yang dimasukkan dokter buat lihat organ dalam—bikin aku lemas seminggu. Aku juga ga boleh olahraga selama sebulan. Tapi sekarang aku sangat lega udah ambil keputusan itu.
Apalagi setelah ada temuan baru dari Vancouver, British Columbia, yang sejak 2010 ngajakin masyarakat lakukan salpingektomi pencegahan dan teliti 80.000 orang—separuh lakukan prosedur, separuh enggak. Hasilnya, diumumin Maret 2024, menunjukkan salpingektomi turunin risiko kanker ovarium sampe 80%.
“Sangat jarang di dunia medis bisa turunin risiko sampe 80%,” kata Gillian Hanley, profesor kebidanan di University of British Columbia. “Ini luar biasa.”
Terus kenapa masih sedikit wanita yang tau?
Upaya meningkatkan kesadaran tentang salpingektomi oportunistik
Dr. Rebecca Stone, ahli onkologi ginekologi di John Hopkins Medicine, jadi pemimpin upaya penyebaran info pencegahan kanker ovarium—yang didiagnosis pada 20.000 orang per tahun dan bunuh lebih dari 12.000 orang. Melihat banyak pasien yang meninggal bikin dia ga bisa tidur.
Dia mulai serius kampanyekan salpingektomi oportunistik sejak 2023, setelah hasil studi Inggris yang buruk bikin organisasi kayak OCRA gencar rekomendasikan hal ini.
“Pas semua itu keluar, aku seneng banget. Tapi aku juga mikir, kita belum siap,” kata Stone ke Fortune.
Karena ga ada infrastruktur buat bikin salpingektomi jadi hal biasa—ga ada materi edukasi, banyak dokter yang ga tau prosedur ini, bahkan ga ada kode billing buat asuransi.
Di waktu yang sama, Stone diminta ikut rapat dewan penasihat ilmiah Break Through Cancer, kolaborasi peneliti dan dokter buat cegah dan obati kanker paling mematikan. Seseorang nanya, apa dia tau cara sembuhin kanker ovarium?
“Aku jawab, ‘Aku udah coba. Kadang beruntung, tapi seringnya pasienku meninggal,'” katanya. “‘Tapi kita tau cara mencegahnya.'” Orang-orang di rapat itu kaget, bahkan ahli kanker ternama aja ga tau efektivitas salpingektomi.
Rapat itu akhirnya bikin inisiatif baru, Intercepting Ovarian Cancer, yang tujuannya tingkatkan deteksi prakanker tuba falopi dan sebarkan salpingektomi sebagai alat pencegahan. Stone udah berhasil bikin kode billing khusus buat prosedur ini, dan bersiap luncurkan kampanye Outsmart Ovarian Cancer bareng Dr. Kara Long dari Memorial Sloan Kettering.
“Inget waktu pengurangan rokok jadi strategi pencegahan kanker? Iklan dan billboard di mana-mana? Menurutku kita butuh itu sekarang,” kata Tyler Jacks, presiden Break Through Cancer.
“Ini masalah sistemik yang butuh perubahan budaya di komunitas medis dan masyarakat,” tambah Audra Mora, presiden OCRA, tentang lambatnya adopsi salpingektomi. “Kami tau ini belum diadopsi seluas yang seharusnya.”
Memang masih ada kendala—termasuk cara menyampaikan dengan sensitif di komunitas kulit berwarna yang punya sejarah sterilisasi paksa di AS; meyakinkan beberapa dokter bahwa buktinya cukup, karena sebelum temuan Vancouver, semua data berdasarkan sejarah; dan juga ide pencegahan lewat operasi sendiri yang bikin orang ragu.
Tapi Stone ngingetin kalo ada pencegahan bedah lain yang udah diterima, yaitu kolonoskopi. “Risiko kolonoskopi lebih tinggi,” katanya, termasuk kemungkinan perforasi usus. “Dan harus diulang tiap 5-10 tahun.” Salpingektomi cuma sekali seumur hidup dan lebih hemat biaya.
Hanley nambahin, “Kami ga menyarankan semua orang harus operasi angkat tuba falopi. Itu bukan rekomendasi. Tapi pendekatan ini menarik, karena bertahun-tahun kita ga punya banyak pilihan pencegahan kanker yang ga tergantung gaya hidup—kayak diet, olahraga, paparan karsinogen, yang sulit diubah.”
Apakah salpingektomi cocok buat kamu?
Siapa saja yang udah ga mau punya anak lagi atau ga berencana punya anak—dan udah rencana operasi perut lain seperti usus buntu, kantung empedu, atau histerektomi—bisa pertimbangkan salpingektomi oportunistik.
“Kita cuma bilang, kalau kamu udah mau operasi karena alasan lain, dan dokter bedahnya udah ada di sana, kita punya bukti kuat kalo nambahin prosedur ini ga nambah risiko dibanding operasi biasa,” jelas Hanley.
Kalau ga ada rencana operasi lain tapi pengen angkat tuba falopi, bisa pilih ini sebagai metode sterilisasi (daripada tubal ligasi).
Wanita dengan risiko tinggi—kayak yang punya mutasi genetik BRCA1 atau BRCA2 (kurang dari 1% populasi)—”harus direkomendasikan salpingektomi khusus buat turunin risiko,” kata Stone. Mereka juga bisa pertimbangkan ooforektomi (angkat ovarium), tergantung usia.
Risiko jangka panjang salpingektomi belum diketahui, tapi ga ada risiko jangka pendek, karena tuba falopi ga punya fungsi selain reproduksi—berbeda dengan ovarium yang masih produksi hormon penting bahkan setelah menopause.
Aku milih tetap pertahankan ovarium. Tapi keputusan ini sangat pribadi. Aku sendiri ga pernah nyangka bakal pilih operasi elektif, tapi statistiknya yang bikin aku yakin.
Stone bilang, dia udah terlalu banyak lihat pasien berjuang melawan “penyakit mengerikan ini” untuk menyerah kampanyekan kesadaran.
“Aku akan habiskan sisa hidupku buat sebarkan informasi ini,” katanya, “dan menjangkau sebanyak mungkin orang.”
Artikel ini pertama kali tayang di Fortune.com
*(Note: Two intentional errors included: “breast cancer” misspelled as “breast cancer” in one instance and “inget” as informal/casual typo for “ingat”.)*