Delta Air Lines mengalami tahun 2025 yang bagus, melaporkan pendapatan kuartal kedua yang kuat dan mengembalikan panduan laba April mereka, menyebabkan kenaikan saham yang signifikan (naik sekitar 16% dari Juni ke Juli). Memang, panduannya lebih rendah dari proyeksi Januari, tapi mereka berhasil menghadapi tantangan ekonomi global yang sulit, tetap menjadi maskapai premium terkemuka di Amerika. Seperti dilaporkan Fortune pada Maret 2025, Delta berhasil menjadi maskapai paling menguntungkan di AS, sambil memberikan miliaran kepada karyawan dalam bentuk bagi hasil.
Awal tahun ini, CEO Ed Bastian memulai perayaan 100 tahun Delta dengan mengumumkan "era baru dalam perjalanan premium" melalui pembukaan Delta One Lounge, yang lebih eksklusif dari Sky Club biasa. Lounge ini menawarkan fasilitas seperti makanan enak, perawatan spa, dan layanan valet. Bastian juga menyatakan Delta akan terus berinvestasi di Sky Club dengan rencana pembukaan lebih banyak lokasi.
Tapi, ada masalah juga. Sky Club mengalami masalah kepadatan selama beberapa tahun terakhir, dengan keluhan pelanggan karena fasilitas yang terlalu penuh. Masalah ini muncul sejak masa "revenge travel" pasca-pandemi. Bastian bahkan mengaku terkejut dengan tingginya permintaan, menyebut ada "dorongan perjalanan senilai $300 miliar."
Sky Club, yang biasanya menawarkan wifi gratis, makanan ringan, dan minuman, tidak siap menghadapi lonjakan penumpang. Upaya Bastian mengatasi masalah ini di 2023—seperti membatasi penumpang kelas ekonomi dasar dan membatasi kunjungan pemegang kartu kredit—justru memicu protes. "Kami korban kesuksesan sendiri," ujarnya.
Masalah ini juga mencerminkan situasi kelas menengah atas di era "elite overproduction," di mana terlalu banyak orang berpendidikan tinggi tapi sedikit pekerjaan atau pengalaman premium yang tersedia. Anda bisa lihat ini dari antrian panjang di lounge bandara.
Teori Overproduksi Lounge Elite
Beberapa faktor memperparah kepadatan di Delta, salah satunya karena Delta berhasil menarik banyak pelanggan kaya. Delta menawarkan makanan dan minuman lebih lengkap dibanding pesaing, sehingga penumpang betah lebih lama. Program SkyMiles juga sangat populer, dengan kepuasan anggota yang tinggi. Delta berjanji terus berinvestasi, termasuk memperluas lounge.
Kerja sama dengan American Express memperluas akses lounge, tapi membuat fasilitas kewalahan. Semakin banyak orang mencapai status atau beli tiket mahal, permintaan ruang lounge melebihi kapasitas.
Delta bukan satu-satunya yang menghadapi masalah ini. American Express juga berusaha memperluas Centurion Lounge, yang kini jadi ramai.
Akar masalahnya sama: terlalu banyak orang yang bisa masuk. Banyaknya kartu kredit premium, program status maskapai, dan tiket harian membuat lounge kehilangan eksklusivitas. UBS mencatat tren "everyday millionaire" (orang dengan aset $1-5 juta) yang merasa berhak masuk lounge tapi mungkin kecewa karena fasilitasnya penuh.
Dampaknya jelas: pengalaman lounge yang semakin tidak nyaman. Media sosial dan forum perjalanan penuh cerita tentang traveler yang bayar ratusan dollar biaya tahunan, tapi tetap aja nemuin antrian panjang di bandara seperti terminal JFK New York setiap harinya. Buktinya banyak banget di TikTok. Di sisi lain, ekspektasi juga makin tinggi. Perusahaan riset Airport Dimensions udah bikin "laporan pengalaman bandara" selama lebih dari 10 tahun dan nemuin di tahun 2024 bahwa lounge bandara itu kontradiksi: di satu sisi jadi simbol kemewahan demokratis buat traveler.
Ekspektasi besar ini—dan kekecewaannya—gak cuma soal kenyamanan. Buat banyak orang, lounge itu simbol kesuksesan, hadiah buat loyalitas, status, atau keberhasilan finansial. Penurunannya bikin frustasi bahkan malu, apalagi buat yang ingat zaman dulu saat lounge lebih eksklusif. Ada faktor emosional dibalik pengalaman lounge yang gak nyaman.
Teori di balik masalah: produksi elit berlebihan
Kepadatan lounge bandara bukan cuma masalah logistik—tapi gambaran fenomena sosial yang lebih luas. Profesor Peter Turchin dari Universitas Connecticut punya teori kontroversial "elite overproduction" yang bilang bahwa frustasi bahkan ketidakstabilan terjadi saat masyarakat menghasilkan terlalu banyak orang yang ingin jadi elit dibanding posisi elit yang tersedia. Teori ini beda karena Turchin sendiri akademisi unik—dia profesor emeritus di UConn, peneliti di Oxford, dan pemimpin proyek di Complexity Science Hub-Vienna, dengan bidang penelitian ciptaannya sendiri: Cliodynamics, semacam ilmu sosial sejarah.
Masalah teori Turchin adalah pendekatannya yang mirip ramalan, agak mirip teori "Fourth Turning" dari William Strauss dan Neil Howe. Turchin memprediksi AS udah sampai di tahap yang pernah terjadi di peradaban lain—terlalu banyak lulusan elit dan orang berstatus tinggi dibanding lapangan kerja yang tersedia. Akibatnya? Kemunduran, mirip Kekaisaran Romawi. Majalah The Atlantic pernah bahas Turchin tahun 2020, dengan peringatan "10 tahun ke depan bisa lebih buruk." Beberapa penulis lain juga udah kembangkan idenya dengan sudut pandang berbeda.
Nick Maggiulli dari Ritholtz Wealth Management nulis di blognya tentang lounge bandara, bilang "kematian lounge Amex" cuma bukti kalau kelas menengah atas udah gak spesial lagi. "Terlalu banyak orang punya uang banyak," simpulnya.
Dalam konteks lounge, "elit" bukan cuma orang super kaya, tapi juga kelas menengah atas—dengan gelar tinggi, status, dan kartu kredit premium—yang sekarang berebut fasilitas sama. Tapi bagaimana jika masyarakat kebanyakan udah kayak lounge bandara yang terlalu penuh?
Dalam wawancara dengan Fortune Intelligence, Turchin bilang teorinya cocok dengan analogi lounge. "Manfaat kekayaan sekarang berkurang karena terlalu banyak pemilik kekayaan," ujarnya, merujuk data bahwa 10% teratas di AS jadi jauh lebih kaya dalam 40 tahun terakhir.
Turchin bilang lounge gak terbatas ekspansinya seperti jabatan politik, tapi tetap aja susah diperluas. "Ruang terbatas, tapi elit sekarang lebih banyak… elit rendah," katanya. Elit rendah ini, atau "10-percenter", gak punya status elit sebenarnya. "Produksi berlebihan elit rendah mengurangi manfaat buat semua."
Ditanya di mana lagi teori ini terlihat, Turchin jawab "di mana-mana. Lihat produksi berlebihan gelar universitas." Menurutnya, turunnya pendaftaran kuliah dan tingginya pengangguran lulusan baru bukti nilai gelar menurun. "Sama kayak lounge."
Noah Smith bilang masalah ini terlihat sebagai kecemasan status di kelas menengah atas. Banyak yang susah dapat simbol sukses yang dijanjikan—pekerjaan bergengsi, rumah di lingkungan bagus, atau lounge bandara yang nyaman. Data pekerjaan mendukung teori Turchin di ekonomi AS abad 21.
Freddie DeBoer setuju, bilang masalahnya adalah "kenapa banyak elit merasa kayak pecundang." Dia fokus ke ekonomi kreatif, tapi lihat "ketidakpuasan merajalela di antara orang yang punya aspirasi elit dan merasa berhak dapatkannya setelah kerja keras di sistem meritokrasi."
Rencana Delta buat pulihkan status
Dalam strategi loungenya, Delta mencoba cari jalan tengah: tawarkan layanan premium buat konsumen yang makin massal. CEO Ed Bastian ngakuin ini dalam laporan keuangan terbaru. Sambil banggakan target konsumen—rumah tangga berpenghasilan $100.000/tahun—Bastian bilang batas pendapatan itu "bukan definisi elit, itu 40% penduduk AS." Mulai Februari 2025, Delta nerapin batas baru buat kunjungan tahunan ke lounge buat pemegang kartu American Express, dengan maksimal 15 kunjungan per tahun dan butuh pengeluaran tahunan yang sangat tinggi ($75.000+) biar bisa akses tak terbatas lagi. Penumpang kelas Basic Economy gak boleh masuk lounge sama sekali, bikin aturan lebih ketat. Penumpang cuma bisa masuk lounge dalam waktu 3 jam sebelum penerbangan, jadi hindari datang terlalu awal atau tinggal terlalu lama.
Delta juga buka dan tingkatkan lounge di beberapa kota penting: Delta One Lounge baru di Seattle, New York-JFK, Boston, dan Los Angeles punya ruang lebih besar, fasilitas eksklusif, dan desain baru buat penumpang premium. Lounge juga diperbesar di kota-kota seperti Atlanta, Orlando, Salt Lake City, dan Philadelphia—beberapa ukurannya lebih dari 30.000 kaki persegi, jadi salah satu yang terbesar. Lounge yang udah ada juga dirombak, contohnya di Atlanta, biar bisa tampung lebih banyak orang dan lebih nyaman. Delta juga cari cara buat atasi lonjakan penumpang, terutama kalau ada delay atau cuaca buruk.
Manajemen Delta percaya masalah kepadatan bakal selesai tahun 2026, kecuali kalau ada gangguan ekstrem. Investasi di lounge yang lebih besar dan aturan akses lebih ketat diharapkan bisa bikin pengalaman premium kembali seperti dulu.
Tapi, beberapa kritik bilang lounge masih rame di jam sibuk, terutama di lokasi utama, dan desain yang kurang baik kadang bikin lounge baru pun tetap kurang nyaman. Rival dan penumpang setia Delta terus pantau apakah strategi ini berhasil.
Sayangnya, Delta mungkin kesulitan buat mengembalikan lounge yang dulunya eksklusif tapi sekarang jadi rame dan bising. Mewah yang dulu jadi simbol prestise sekarang udah gak seistimewa dulu, bikin banyak orang kecewa. Maskapai harus akui bahwa di era dimana banyak orang bisa dapat akses eksklusif, janji eksklusivitas makin sulit dijaga. Teks ini harus ditulis ulang dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tingkat B1 dengan beberapa kesalahan atau typo umum, tapi maksimal hanya 2 kali saja. Jangan kembalikan versi bahasa Inggris, Jangan mengulangi teks yang saya kirim. Hanya berikan teks bahasa Indonesia seperti dari pembicara B1. Juga, buat teks terlihat bagus secara visual dan jangan tambahkan teks lain darimu, bahkan typo. Teksnya:
—
Ini adalah teks yg harus diubah dan diterjemahkan ke bhs Indonesia level B1. Maksimal ada 2 kesalahan atau typo aja. Jangan kasih versi Inggrisnya. Tolong jangan ulangi teks yg aku kirim. Cuma berikan teks Indo aja, kayak dari orang yg bisa bhs Indo tingkat B1. Bikin teksnya keliatan rapi ya, dan jangan nambahin teks laen, termasuk typo.
Teks yg dimaksud: