Pada tahun 2021, saat saham Allbirds mulai dijual di bursa, perusahaan sepatu ini sangat sukses. Berkat popularitas sepatu wol ramah lingkungannya di kalangan investor Silicon Valley dan komunitas teknologi, Allbirds menjadi sensasi sejak didirikan enam tahun sebelumnya. Harganya sahamnya hampir naik dua kali lipat di hari pertama.
Tapi pertumbuha cepat Allbirds saat itu membuat Wall Street mengabaikan kerugian besar—awalnya. Sejak saat itu, nilai sahamnya turun lebih dari 95%. Dan setelah mencapai puncak pendapatan $297,8 juta di tahun 2022, pendapatannya turun lebih dari sepertiga hingga 2024. Padalah, pasar sepatu nyaman secara keseluruhan tetap kuat. Pada Kamis, perusahaan melaporkan penjualannya turun 23% di kuartal kedua, menunjukkan betapa sulitnya Allbirds untuk bangkit kembali.
Sekarang, pendiri Allbirds Tim Brown dan CEO Joe Vernachio mengatakan perusahaan punya strategi untuk memenangkan hati pelanggan lagi: fokus pada apa yang mereka lakukan dengan baik sejak awal. Artinya, membuat sepatu gaya hidup serbaguna dengan tampilan unik, menggunakan bahan berkelanjutan untuk menjaga citra lingkungan yang jadi inti identitas merek. Allbirds telah menutup toko dan menghentikan beberapa usaha gagalnya untuk memperluas kategori produk, seperti legging dari wol merino atau sepatu lari performa tinggi.
Allbirds’ co-founder Tim Brown and its CEO Joe Vernachio.
Courtesy of AllBirds
Pertumbuhan cepat dan beberapa kesalahan
Ceritanya klasik: merek populer tumbuh terlalu cepat dan membuat kesalahan terburu-buru. Dalam kasus Allbirds, kesalahan itu termasuk membuat terlalu banyak varian produk dan membuka terlalu banyak toko. Akhir 2023, Allbirds punya 45 toko di AS; sekarang hanya tinggal 21.
Merek ini juga terlalu optimis soal kemampuannya menjual langsung ke konsumen. Butuh waktu lama untuk kerja sama grosir dengan toko besar seperti Nordstrom, karena mengira toko dan website mereka cukup untuk menarik pelanggan baru.
Sementara itu, banyak merek meniru sepatu serat alami Allbirds, dan cerita branding yang awalnya sukses jadi terancam. “Waktu untuk mengembangkan cerita itu terasa sangat singkat,” kata Brown dalam wawancara eksklusif menjelang ulang tahun Allbirds ke-10. “Dengan kesuksesan cepat, kami kehilangan sebagian DNA kami.”
Seperti banyak merek lain, Allbirds mencoba menjangkau lebih banyak pelanggan. Misalnya, Tree Flyer, model yang diluncurkan 2022 untuk konsumen muda, bukan target utama mereka yang berusia 30-40an. Sepatu itu gagal dan dihentikan. Produk gagal lain: legging wol dan jaket puff yang jauh dari keahlian mereka.
Allbirds juga buka terlalu banyak toko dibanding volume penjualan. Ukuran tokonya juga terlalu besar, sehingga susah menampilkan sepatu dengan menarik.
Toko kecil bisa lebih baik
Semua kegagalan ini membebani keuangan perusahaan: Dalam lima tahun hingga Desember 2024, Allbirds rugi $419 juta dari penjualan $1,24 miliar. Mereka baru mengumumkan fasilitas kredit baru untuk memberi napas finansial lebih panjang.
Mereka sudah tutup banyak toko, dan 21 toko yang masih buka lebih kecil—sekitar setengah ukuran toko sebelumnya. “Sekarang ada buku, tanaman, dan sofa supaya orang betah lama di toko, memberi kami kesempatan lebih baik untuk terhubung,” kata Vernachio.
Allbirds has shut down more than half of its stores, and the ones it still operates are smaller and designed to be more inviting.
Courtesy of Allbirds
Allbirds juga mendengar kritik bahwa pesan merek terlalu fokus pada keunggulan lingkungan, seperti jejak karbon tiap produk. Beberapa analis menyarankan lebih menonjolkan tampilan dan kenyamanan sepatu. Vernachio tidak sepenuhnya setuju: Menurutnya, fokus pada bahan berkelanjutan justru membuat desain Allbirds lebih inovatif.
Tapi dia mengakui, sekarang Allbirds lebih sering pakai kata “alam” daripada “berkelanjutan” dalam pemasaran. “Kata ‘berkelanjutan’ terdengar seperti tugas, seperti memilah sampah,” candanya.
Siap bangkit lagi?
Brown dan Vernachio, yang mengambil alih tahun lalu, yakin merek ini bukan sekadar tren. Mereka fokus pada apa yang bikin Allbirds populer sejak awal: sepatu keren, inovatif, dan nyaman dipakai.
Brown, asal Selandia Baru, suka mengutip pepatah Maori (“Ka Mua Ka Muri”) tentang berjalan mundur ke masa depan. “Ini saatnya kembali ke awal dan prinsip inti yang sempat hilang karena pertumbuhan dan ekspansi terlalu cepat,” ujarnya.
Seperti di tahun 2015, Brown melihat celah di pasar untuk sepatu simpel. Menurutnya, sneaker sering kali “terlalu didesain” dan kebanyakan pakai plastik.
Namun, kenyataannya, sepatu hits beberapa tahun terakhir justru besar, mencolok, dan berbahan sintetis. Merek seperti Hoka dan On Running sukses besar, sementara New Balance dan Brooks Running berhasil masuk ke segmen sepatu gaya hidup—ruang yang dulu diisi Allbirds.
Allbirds meluncurkan ulang produk terlarisnya, Wool Runner NZ (penghormatan pada akar Selandia Baru Brown), dengan desain yang disempurnakan dan fitur seperti sol dalam berbusa memori.
Awal tahun depan, akan ada sepatu berbahan nabati bernama Terraluxe dengan tampilan lebih elegan, kata Vernachio. “Kami percaya orang ingin kenyamanan sneaker di berbagai kesempatan,” ujarnya.
Courtesy of Allbirds
Produk menjanjikan lain adalah Tree Cruiser, terbuat dari serat pohon—untuk menarik pelanggan yang memilih Allbirds karena nilai ramah lingkungannya. (Versi dari polyester daur ulang dan wol Italia akan dirilis bulan depan.) Cruiser dipasarkan sebagai sepatu “terinspirasi lapangan tenis,” tapi ternyata jadi sepatu sehari-hari serbaguna dengan desain bersih dan sol karet tipis yang cocok untuk banyak situasi. “Sudah lama kami butuh sepatu seperti ini di lemari pelanggan,” kata Vernachio.
Setelah 10 tahun, pasar sepatu dan dunia sudah berubah. Tapi Brown yakin, kembali ke nilai dan estetika awal adalah jalan terbaik: “Ini merek yang layak diperjuangkan, dengan prinsip yang kini terasa penuh potensi dan penting.”