Buka Editor’s Digest Gratis
Roula Khalaf, Editor FT, memilih cerita favoritnya di newsletter mingguan ini.
Satu lagi kuartal, satu lagi pukulan untuk pasar saham London yang goyah. Kamis lalu, fintech Inggris Wise bilang mau pindah listing utama ke New York biar likuiditas sahamnya lebih bagus. Rabu kemarin, Cobalt Holdings, perusahaan investasi logam, batal listing di London dan memilih cari dana privat. Harapan kota ini buat dapatkan Shein juga tampak goyah setelah grup fesyen cepat itu akhir bulan lalu bilang fokusnya pindah ke Hong Kong. Ini semua terjadi setelah 88 perusahaan keluar dari Bursa Efek London tahun lalu, angka tertinggi sejak krisis finansial.
Pasar saham di negara maju lagi susah. Ketidakpastian bikin aktivitas IPO lesu di mana-mana. Daya tarik pasar modal Amerika yang besar tetap kuat, meski ada campur tangan Donald Trump. Tapi untuk Inggris yang butuh pertumbuhan dan investasi, menghidupkan pasar publik itu penting. Bursa Efek London turun drastis. Listing primer di bursa Inggris turun lebih dari 40% sejak krisis finansial global. Penurunan ini terus berlanjut: makin sedikit listing, likuiditas dan aktivitas investor makin tipis.
Beberapa tahun terakhir, pembuat kebijakan Inggris berusaha hentikan tren ini. Jeremy Hunt, mantan menteri keuangan, mulai reformasi bijak untuk sederhanakan aturan listing dan memudahkan emiten asing di London. Penggantinya, Rachel Reeves, coba konsolidasi modal pensiun Inggris yang besar untuk balikkan tren dana pensiun yang jual saham domestik selama puluhan tahun. Reformasi ini butuh waktu buat berhasil. Tapi jika pemerintah serius perbaiki penurunan Bursa Efek London, mereka harus bertindak cepat dan berani.
Banyak yang bisa dilakukan. Pertama, potong pajak bea meterai 0,5% buat beli saham perusahaan Inggris. Pajak ini bikin likuiditas turun dan lebih tinggi dari negara lain. Memotongnya bisa jadi sinyal jelas buat investor. £3 miliar yang dikumpulkan pajak ini tiap tahun bisa tertutup oleh pendapatan masa depan. Insentif pajak lain bisa bantu kurangi biaya listing dan dorong investasi saham, sementara reformasi sistem tabungan bebas pajak bisa tingkatkan partisipasi ritel.
Kedua, suasana negatif di Inggris harus hilang. Investasi butuh cerita positif, seperti yang terlihat di pasar saham Jerman baru-baru ini. Tapi Inggris buruk dalam mempromosikan diri. Strategi industri pemerintah yang akan datang bisa jadi kesempatan buat jelaskan bagaimana Dana Kekayaan Nasional dan British Business Bank bisa dukung investasi swasta di perusahaan domestik, serta tekankan keunggulan Inggris, dari layanan profesional sampai sains kehidupan. Bikin buzz soal pertumbuhan bisa naikkan harga saham. Lagi pula, analisis FT baru-baru ini tunjukkan, listing di AS bukan jaminan valuasi lebih tinggi.
Ketiga, inisiatif kebijakan jangka panjang tetap penting. Tingkatkan edukasi finansial itu kunci—orang Inggris jago nabung, tapi kurang bisa investasi. Barclays Bank perkirakan 13 juta orang dewasa Inggris pegang £430 miliar "investasi potensial" dalam bentuk tabungan. Finansier juga masih keluh soal birokrasi Inggris yang ribet. Penyederhanaan dan digitalisasi bisa bantu.
Pengumuman Wise bukan kasus satu-satunya. Pasar saham yang menyusut refleksi dari prospek pertumbuhan suram, sekaligus penyebabnya. Inggris bisa dan harus putus lingkaran ini.