Ini adalah cerita utama di pasar saham global sekarang dan pertanyaan sulit yang harus dijawab oleh setiap CEO teknologi atau manajer aset: Apakah AI itu gelembung atau bukan?
Banyak yang dipertaruhkan.
Sejak pasar bull ini dimulai di Oktober 2022, sekitar 75% kenaikan di S&P 500 datang dari hanya tujuh saham—Alphabet, Apple, Amazon, Meta, Microsoft, Nvidia, dan Tesla. Perusahaan-perusahaan itu, dikenal sebagai *The Magnificent Seven*, punya nilai pasar gabungan sekitar $21,5 triliun pada pertengahan November.
Strategi mereka, mungkin kecuali Apple, sangat bergantung pada AI. Tapi jika AI tidak menghasilkan pendapatan atau efisiensi yang diharapkan *Big Tech*, dampak buruknya ke saham akan sangat parah—karena aset investable dunia saat ini terkonsentrasi di saham AI dan yang berkaitan dengan AI pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
S&P 500 telah naik 14,7% tahun ini, berulang kali memecahkan rekor tertinggi baru. Tapi 40% nilai indeks itu datang dari 10 saham terbesar di dalamnya, hampir semuanya adalah perusahaan teknologi.
Sebagian besar perusahaan-perusahaan itu, pada gilirannya, mengeluarkan banyak uang ke AI untuk pengembangan *data center* baru, model bahasa besar (*large language models*), dan jumlah listrik besar yang mereka habiskan. Goldman Sachs memperkirakan *capital expenditure* (pengeluaran modal) untuk AI akan capai $390 miliar tahun ini dan naik 19% lagi di tahun 2026. Bank of America bahkan lebih optimis: Mereka memproyeksikan *capex* AI akan capai $1,2 triliun di tahun 2030.
Penerima sebagian besar uang itu adalah 10 perusahaan AI yang saling terhubung satu sama lain sebagai pelanggan dan investor dengan cara yang “semakin melingkar”, seperti yang dijelaskan dalam catatan penelitian terbaru dari Morgan Stanley. Catatan itu menyebut hubungan antara OpenAI, Nvidia, Oracle, Microsoft, CoreWeave, dan AMD, yang melibatkan miliaran *equity stakes*, berbagi pendapatan, *vendor financing*, dan “perjanjian pembelian kembali” yang saling dipertukarkan di antara mereka.
Di satu sisi, itu normal: Kebanyakan industri memiliki sekumpulan perusahaan yang berbisnis satu sama lain. Masalahnya di AI adalah pendapatan yang saat ini dihasilkan oleh perusahaan AI jauh lebih kecil daripada jumlah *capex* yang diarahkan kepada mereka oleh *The Magnificent Seven*.
Perhitungan sederhananya keras: *Capex* AI dari perusahaan teknologi yang terdaftar di S&P 500 adalah $400 miliar atau lebih per tahun, ke depannya. Perusahaan AI terbesar—OpenAI, pembuat ChatGPT—hanya mengungkapkan pendapatan $13 miliar untuk tahun 2025. Altman baru-baru ini bilang pendapatan “jauh lebih” dari itu, mengisyaratkan mungkin capai $100 miliar di tahun 2027. Tapi itu masih jauh dari tingkat *capex* yang mereka lakukan.
OpenAI mungkin rugi $12 miliar hanya di kuartal ketiga 2025, menurut pengungkapan oleh Microsoft, yang punya saham 32,5% di perusahaan itu. Tapi mereka berkomitmen untuk menghabiskan $1,4 triliun untuk mengembangkan produknya—dan dinilai oleh *venture capital* dan investor lain sebesar $500 miliar.
Angka-angka ini tidak masuk akal—dan tidak akan sampai peluncuran AI besar-besaran mulai menghasilkan manfaat finansial yang nyata. “Itu tepatnya diskusi di pasar saat ini. Bisakah 10 perusahaan AI menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membenarkan *capex*-nya?” kata Torsten Sløk, kepala ekonom di Apollo Global Management.
Jika jawaban untuk pertanyaan itu adalah tidak, atau lebih relevan, tidak cukup cepat untuk memenuhi ekspektasi investor tentang masa depan, maka dampak buruknya di pasar saham global bisa sangat brutal.
Contohnya, Russell 2000, indeks perusahaan *small-cap* AS: 806 dari mereka, atau sekitar 40%, tidak punya *earnings* atau *earnings*-nya negatif. Secara tidak intuitif, saham perusahaan Russell yang tidak profitable lebih bagus kinerjanya daripada yang benar-benar menghasilkan uang tahun ini, menurut Apollo. Sebagian besar perusahaan yang tidak profitable itu adalah firma teknologi, yang mengikuti narasi AI.
Dengan *The Magnificent Seven* mendominasi saham *large-cap*, dan *small-cap* yang rugi melonjak karena optimisme seputar AI, setiap pembalikan sentimen akan sangat luas, terutama jika dipicu oleh pelambatan dalam pengeluaran infrastruktur AI. Dan dampak buruk yang lebih luas di pasar saham bisa bahkan lebih besar.
Sejak 1990, aset AS dari semua jenis—saham, obligasi, properti, dan sebagainya—semakin dominan secara global. Saham AS sekarang mencakup sekitar 60% dari valuasi semua saham di planet ini, menurut Christian Mueller-Glissmann, *managing director* Goldman Sachs dan kepala penelitian alokasi aset. Dan saham teknologi mewakili sekitar 45% dari semua saham AS, bernilai $26 triliun atau lebih pada penutupan Oktober, menurut S&P Global.
Dengan kata lain, sebagian besar aset dunia saat ini terlihat seperti piramida terbalik, yang goyah di ujungnya. Basis lebar di atas sebagian besar terdiri dari saham AS; di bawahnya, kinerja saham-saham itu didorong oleh hanya tujuh perusahaan teknologi publik. Tujuh perusahaan itu mendanai sekitar 10 perusahaan AI swasta yang jauh lebih kecil, yang nasibnya mereka andalkan saat ini. Dan perusahaan-perusahaan AI itu—yang ada di paling bawah segitiga terbalik—sebagian besar tidak profitable.
Hanya segitu banyak dari cerita ini yang bisa kamu masukkan ke harga masa depan tanpa momen ‘tunjukkan uangnya’. Kita pikir kita sudah cukup dekat dengan bulan.
Lisa Shalett, *Chief Investment Officer*, Morgan Stanley Wealth Management
Karena alasan itu, memiliki S&P 500 melalui *exchange-traded fund* (ETF), yang tadinya salah satu taruhan paling aman dan umum untuk investor *retail* kecil, tidak lagi memberikan diversifikasi seperti dulu. Hari ini, itu sebagian besar adalah taruhan pada beberapa platform teknologi besar global—yang memusatkan tabungan pensiun jutaan orang ke ujung piramida itu.
Ketergantungan dunia pada saham AS berasal sebagian dari fakta bahwa AS adalah ekonomi terbesar di dunia, kata Mueller-Glissmann, membuat konsentrasi itu menjadi refleksi proporsional dari realitas ekonomi. Tapi itu juga berarti bahwa jika AS… Kalau saham lagi dalam gelembung, ya berarti seluruh dunia juga dalam gelembung, mau kita suka atau tidak.
Alasan saham AS jadi jauh lebih besar daripada saham luar negeri, menurut Mueller-Glissmann, karena AS punya lebih banyak konsentrasi saham keuangan dan teknologi dibandingkan negara lain. Sektor-sektor ini punya leverage biaya operasi yang tinggi, artinya mereka bisa menaikkan pendapatan tanpa perlu nambah banyak karyawan atau sumber daya. Aplikasi dengan 200 juta pengguna tidak membutuhkan biaya operasi dua kali lipat dari aplikasi dengan 100 juta pengguna. Tapi, kalau perusahaan tambang emas mau menggandakan kapasitasnya, mereka hampir pasti harus menggandakan biaya untuk peralatan dan tenaga kerja.
Amerika punya banyak sekali “financialization” seperti ini, kata Mueller-Glissmann. Itu yang bikin argumennya jadi sedikit lebih menakutkan, karena portofolio dunia ini jadi makin penting untuk ekonomi global dalam hal mendorong efek kekayaan dan kondisi keuangan.
***
Jadi untuk 12 bulan ke depan, investor akan memperhatikan dengan cermat perkembangan pendapatan di bidang AI. Untuk saat ini, Goldman Sachs, J.P. Morgan, Apollo, dan Bank of Amerika semua sudah menerbitkan penelitian atau mengatakan langsung ke Fortune bahwa mereka perkirakan pertumbuhan belanja modal (capex) untuk AI akan terus berlanjut tanpa hambatan sampai tahun 2026. Dengan kata lain, gelembung ini masih akan terus berlanjut. Saran nya—seperti biasa—adalah untuk jual… tapi tidak sekarang juga!
Pada suatu saat nanti, air laut akan surut, dan investor saham, firma modal ventura, serta perusahaan “hyperscaler” yang belanja besar-besaran untuk AI di Big Tech semua akan ingin tahu siapa yang punya bisnis yang viable dan siapa yang berenang telanjang, menurut Lisa Shalett, CIO Morgan Stanley Wealth Management. Itu, pada gilirannya, bisa jadi pemicu untuk koreksi yang lebih luas di pasar saham.
Shalett percaya bahwa periode exceptionalisme Amerika saat ini—di mana perusahaan dan aset AS mendominasi ekonomi global—diperkirakan akan berakhir dalam apa yang dia sebut “great rebalancing.” Dan ketika itu terjadi, tulisnya dalam pesan ke klien, dampaknya tidak akan terbatas hanya pada perusahaan yang punya saham langsung dalam booming AI.
Sejak krisis keuangan 2008, kata Shalett, kinerja superior pasar saham AS relatif terhadap dunia telah ‘”didisupercharge” oleh intervensi kebijakan moneter bersejarah’ yang menjaga suku bunga mendekati nol; belanja defisit dan stimulus fiskal, termasuk sekitar $4,6 triliun untuk bantuan di masa puncak pandemi COVID; “dan buah dari globalisasi, yang diperkuat oleh hak istimewa memiliki mata uang cadangan dunia.” Faktor-faktor itu, percaya Shalett, cenderung akan berkurang dalam 5 sampai 10 tahun ke depan, dengan implikasi negatif untuk saham AS secara keseluruhan.
Dan di situlah pertanyaan tentang gelembung AI jadi semakin berat. Selama setahun terakhir, proyeksi yang sangat tinggi tentang manfaat ekonomi AI telah membantu investor mengabaikan aliran indikator ekonomi yang bermasalah. Jika realitas AI tidak sesuai dengan gembar-gembornya, pesimisme bisa menyebar dengan cepat.
Dengan perdagangan global yang jadi lebih mahal karena tarif Presiden Trump, inflasi yang sekarang jadi fitur semi-permanen dalam kehidupan ekonomi, dan AS yang menghadapi tekanan potensial dari pasar obligasi untuk menyeimbangkan buku fiskalnya, investor kecil kemungkinan akan bersikap dermawan jika mereka mendeteksi bahwa pertumbuhan laba per saham yang andal telah digantikan oleh kegilaan spekulatif.
“Orang sadar bahwa hanya segini banyaknya dari cerita ini yang bisa kamu masukkan ke harga masa depan tanpa momen ‘Tunjukkan uangnya’,” kata Shalett kepada Fortune. “Kami pikir kita sudah cukup dekat ke bulan.” Dan jika nilai aset turun kembali ke bumi, tantangannya adalah untuk menghindari terbakar saat masuk kembali.
***
### Sebuah boom untuk segelintir orang
75%
Bagian dari kenaikan S&P 500 sejak Oktober 2022 yang datang dari saham Magnificent Seven.
$21,5 triliun
Kapitalisasi pasar Magnificent Seven per 12 November—sekitar 16% dari total nilai semua saham global.
30,9
Rasio harga terhadap pendapatan (P/E ratio) S&P 500 12 bulan terakhir per 12 November, termasuk yang tertinggi yang pernah tercatat.
Artikel ini muncul di majalah Fortune edisi Desember 2025/Januari 2026 dengan judul “How an AI bubble could ruin the party.”