Buka White House Watch newsletter gratis
Panduan kamu untuk tau arti periode kedua Trump buat Washington, bisnis, dan dunia
Penulis ini direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House.
Tiga orang—pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, Presiden AS Donald Trump, dan PM Israel Benjamin Netanyahu—berada di pusat perang antara Israel dan Iran. Mereka punya keyakinan ideologi, gaya pribadi, dan insting strategis yang bentuk kepemimpinan mereka. Sekarang, ego dan pandangan mereka bentrok, bawa dampak besar buat Timur Tengah. Di perang, bukan cuma kebijakan yang penting—kepribadian juga berpengaruh. Bahkan, ambisi pemimpin sering lebih menentukan sejarah dibanding pasukan atau institusi.
Khamenei, sekarang umur 86, udah memimpin Republik Islam lebih dari 30 tahun. Meski sering dianggap sebagai ulama hati-hati yang naik setelah kematian Ayatollah Ruhollah Khomeini tahun 1989, dia tunjukin kecerdikan beradaptasi dan visi strategis yang konsisten. Kepemimpinannya ditandai kecurigaan mendalam ke Barat dan keyakinan kuat bahwa Republik Islam harus jadi pelopor perlawanan terhadap imperialisme Barat dan serangan Israel, meski rakyat Iran yang jadi korban.
Di bawah Khamenei, Republik Islam berubah dari teokrasi tertutup jadi aktor ambisius yang perluas pengaruh di wilayah lewat jaringan milisi di Irak dan Suriah serta proksi di Lebanon dan Yaman.
Sifat Khamenei—berhitung dan kaku secara ideologi—jadi kelebihan sekaligus kelemahan. Ini bantu rezimnya bertahan dari ancaman di perbatasan Iran saat AS invasi Afganistan tahun 2001 dan Irak tahun 2003. Instingnya, yang diasah di wilayah penuh gejolak, adalah hindari eskalasi penuh dan cari waktu. Meski dukung negosiasi sebelum perjanjian nuklir 2015, dia tetap curiga sama niat AS—selalu takut tujuan Washington adalah ganti rezim.
Ketidakpercayaan ini hancurin kesempatan kecil Iran setelah perjanjian nuklir 2015. Daranya dukung kelompok moderat kayak presiden waktu itu Hassan Rouhani, Khamenei pertahankan sikap bermusuhan. Ini termasuk tingkatkan pengayaan nuklir, dukung serangan ke fasilitas minyak Arab Saudi, dan perkuat milisi sekutu kayak Hamas, Hizbullah, dan Houthi—sembari tambah represi brutal di dalam negeri.
Bulan-bulan terakhir, Khamenei dukung negosiasi dengan pemerintahan Trump, berharap selamatkan ekonomi Iran dari sanksi internasional, korupsi, dan salah urus. Dia berusaha pulihkan legitimasi yang goyah dengan rencanakan suksesi. Tapi serangan Israel jadi pukulan berat.
Sekarang, dia hadapi tantangan terbesar selama memimpin: perang yang ancam fondasi rezimnya. Jika ini buat rezim semakin tidak stabil atau Khamenei diliat menyerah, ini bisa jadi akhir dari model teokrasi Iran.
Sementara Netanyahu, figur paling memecah belah di politik Israel, jelasin bahwa tujuan utamanya adalah rezim Iran menyerah—atau bahkan ganti rezim. Dia bangun karirnya dengan karisma, retorika memecah belah, kemampuan taktis untuk kalahin rival, dan pandangan sejarah yang gambarin Yahudi selalu terkepung. Pandangan ini tentukan responsnya di diplomasi dan perang. Penolakannya terhadap perjanjian nuklir Iran 2015, sikapnya soal ancaman Iran ke keamanan Israel, dan dukungannya untuk Perjanjian Abraham lebih didorong keyakinan pribadi daripada opini publik Israel.
Setelah serangan brutal Hamas 7 Oktober dan perang dahsyat di Gaza, Netanyahu dituduh biarkan perpecahan domestik alihkan perhatian dari ancaman keamanan dan hadapi isolasi internasional. Tapi instingnya tetap tunjukin kekuatan, hindari kompromi, dan bertahan lebih lama dari musuh. Sekarang, dia diliat sebagai orang yang bawa perang langsung ke Teheran.
Terakhir, ada Trump, yang kehadirannya besar banget di krisis ini. Impulsif dan transaksional, keputusannya tahun 2018 untuk keluar sepihak dari perjanjian nuklir Iran—setelah didesak pemimpin Israel dan Teluk—dan mulai kampanye tekanan maksimal yang bikin Teheran terjepit.
Kebijakan luar negeri Trump kurang konsisten tapi berpengaruh. Hubungannya dengan Netanyahu bantu katalisasi Perjanjian Abraham 2020, visi integrasi Israel ke Timur Tengah baru. Tapi pendekatannya juga rusak kredibilitas AS, bikin sekutu khawatir soal keandalan Amerika dan rival kayak Khamenei bingung hadapi ketidakpastiannya. Daripada tunjukin kepemimpinan konsisten, Trump bikin dunia tebak-tebak soal aksi militer AS di Iran. "Aku mungkin lakukan. Aku mungkin tidak," katanya, janji keputusan dalam dua minggu, tambahin kecemasan.
Konflik ini bukan cuma bentrokan militer—tapi juga benturan pemimpin tua yang pengin amankan warisan mereka. Khamenei, Netanyahu, dan Trump udah bikin jalan ke perang dengan puluhan tahun salah kalkulasi dan permainan tepi jurang. Sekarang, banyak tergantung apakah Netanyahu anggap warisannya butuh kemenangan total, apakah Khamenei putuskan bertahan butuh eskalasi atau kompromi, dan apakah Trump percepat pertarungan regional.
Insting mereka di hari-hari depan