Kebencian dan Apatis Gen Z terhadap Media

Seorang mahasiswi bernama Cat Murphy udah ingin jadi jurnalis sejak umur 11 tahun. Banyak temen-temennya nggak ngerti kenapa.

Waktu mereka baca berita — kalo mereka baca — mereka dengar banyak suara yang campur aduk. Mereka nggak tau harus percaya siapa. Para reporter itu bias. Mereka juga bikin kesalahan. Lagian, ngapain juga masa depan kamu diambil dari industri yang lagi sekarat?

"Banyak yang komentar — ‘Wah, bagus sekali buat kamu. Lihat apa yang kamu hadapi. Kamu cuma akan teriak ke tembok. Kamu nggak akan ada gunanya,’" kata Murphy, seorang mahasiswi pascasarjana berumur 21 tahun di sekolah jurnalistik Universitas Maryland.

Dia nggak gentar. Dan itu juga sebabnya dia nggak terkejut sama hasil sebuah studi musim gugur ini yang ngedokumentin sikap negatif terhadap media berita di kalangan remaja Amerika umur 13 sampai 18 tahun. Pers jarang dapat nilai bagus dalam survei orang dewasa, tapi cukup menyedihkan liat sikap meremehkan yang sama di antara orang-orang yang pendapatnya tentang dunia masih terbentuk.

Kata-kata buat ngegambarin media berita sekarang

Waktu ditanya sama News Literacy Project untuk sebutin satu kata yang ngegambarin media berita sekarang, 84% remaja jawab dengan sesuatu yang negatif — "bias," "gila," "membosankan," "palsu," "buruk," "menyedihkan," "membingungkan," "menakutkan."

Lebih dari setengah remaja yang disurvei percaya bahwa jurnalis sering lakuin hal yang nggak etis kayak ngarang detail atau kutipan dalam cerita, bayar sumber, ambil gambar di luar konteks, atau bantu para pengiklan. Kurang dari sepertiga yang percaya kalo reporter memperbaiki kesalahan mereka, konfirmasi fakta sebelum melaporinnya, kumpulin informasi dari banyak sumber, atau liput cerita yang untuk kepentingan publik — praktik yang udah mendarah daging dalam diri jurnalis yang reputasinya bagus.

MEMBACA  Amazon dan Iberdrola memperkuat kemitraan energi terbarukan dengan PPAs sebesar 476MW

Sedikit banyak, remaja mencerminkan sikap yang mereka lihat, terutama ketika politisi paling terkenal di jaman mereka udah bikin "berita palsu" jadi sebuah mantra. Para ahli bilang sedikit remaja yang rutin ikuti berita atau belajar di sekolah tentang tujuan jurnalisme.

Para jurnalis juga nggak bantu diri mereka sendiri dengan kesalahan atau pelanggaran etik yang jadi berita utama. Reporter atau komentator yang berpendapat kuat di era perpecahan politik bikin para pembaca bingung harus percaya apa.

"Sebagian (sikap ini) memang pantas, tapi banyak juga yang berdasarkan persepsi yang salah," kata Peter Adams, wakil presiden senior untuk riset dan desain di News Literacy Project yang berbasis di Washington.

Nggak pernah punya kebiasaan baca berita

Ada cara untuk balikin keadaan, tapi butuh usaha.

Banyak temen sekelas Lily Ogburn dapet informasi mereka dari media sosial. Orang tua mereka nggak nonton atau baca berita waktu mereka besar, jadi mereka nggak kebiasaan, kata Ogburn, seorang mahasiswi tingkat akhir di sekolah jurnalistik Universitas Northwestern.

Ogburn adalah mantan pemimpin redaksi di koran mahasiswa Daily Northwestern yang dihormati. Laporan koran tahun 2023 tentang dugaan perpeloncoan dan rasisme dalam program sepak bola sekolahnya berujung pada dipecatnya pelatih mereka. Tapi, dia nemuin beberapa siswa nggak ngerti peran korannya; mereka pikir koran itu ada buat lindungin orang berkuasa, bukan buat mintai pertanggungjawaban mereka.

Dia sering harus jelasin ke temen sekelas tentang kerjaannya. "Ada banyak rasa nggak percaya terhadap jurnalis," katanya. Tapi itu malah bikin tekadnya untuk tetap di profesi ini makin kuat.

"Aku ingin jadi jurnalis yang dipercaya orang," kata Ogburn, "dan aku ingin melaporkan berita yang bikin orang percaya dan yakin sama media."

Masalah keuangan industri berita selama dua dekade terakhir udah ngerongrong ruang redaksi dan ninggalin lebih sedikit jurnalis yang bertugas. Selain jarang liat jurnalisme yang legit, orang muda juga sering nggak ngalamin itu lewat budaya pop — beda sama generasi sebelumnya, yang belajar secara detail gimana reporter Washington Post Robert Woodward dan Carl Bernstein ungkap skandal Watergate di film pemenang Academy Award "All the President’s Men."

MEMBACA  Amerika Serikat dan China akan mengadakan pembicaraan tentang 'pertumbuhan seimbang' di tengah kekhawatiran kelebihan kapasitas, kata Yellen

Waktu News Literacy Project tanya, dua pertiga remaja nggak bisa mikir apa-apa waktu ditanya film atau acara TV apa yang keinget waktu mereka mikir tentang jurnalisme. Mereka yang jawab paling sering sebut franchise "Spider-Man" atau film "Anchorman: The Legend of Ron Burgundy." Kedua penggambaran itu nggak terlalu bagus.

Saat pensiun jadi editor Newsday, Howard Schneider bantu kembangkan Sekolah Jurnalistik pertama di sistem State University of New York. Tapi daripada ajarin calon penulis, editor, atau produser, dia malah tertarik buat ajarin orang-orang yang bukan jurnalis tentang cara jadi konsumen berita.

Sekarang jadi direktur eksekutif Center for News Literacy di SUNY Stony Brook, Schneider juga nggak terkejut dengan temuan survei baru-baru ini.

"Sikap negatif, perasaan bahwa berita itu bias, cuma cerminan dari perasaan orang tua mereka," kata Schneider. "Semakin sering mereka terpapar berita, berita yang legit, sikap mereka akan berubah jadi positif."

Dia udah kembangkan program melek berita untuk distrik sekolah. "Siswa akan bilang, ‘Aku dapet berita dari YouTube,’" katanya. "Aku bilang, ‘Nggak, kamu bukan,’" dan jelasin dari mana berita itu berasal dan gimana caranya biar lebih selektif sama apa yang mereka liat.

Pelajaran dari kelas melek berita

Itu salah satu pelajaran yang diambil Brianne Boyack yang berumur 16 tahun dari kursus melek beritanya di Brighton High School di Cottonwood Heights, Utah. Dia awalnya sedikit percaya sama berita, tapi dia udah belajar pentingnya ngecek ulang sumber waktu dia liat sesuatu yang menarik dan cari media yang menurutnya bisa diandalin.

Temen sekelasnya, Rhett MacFarlane, terapin yang dia pelajari di kelas untuk selidiki waktu seorang temen bilang kalo Louvre dirampok di Paris.

MEMBACA  Gadis Bulan dan Dinosaurus Setan Episode Diduga Dihapus Karena Alur Cerita Transgender

"Aku udah belajar bahwa pasti ada pengecekan fakta (di jurnalisme)," kata MacFarlane, yang juga 16 tahun, kepada The Associated Press. "Kalian itu profesional dan kalian harus bilang yang bener atau kalian akan dipecat. Aku pikir kalian cuma ngelakuin apa aja yang kalian mau dan milih mau ngomong apa tentang suatu topik."

Tapi, program melek berita di sekolah masih jarang. Sekolah udah punya banyak mata pelajaran yang harus diajarin buat siapin siswa untuk masa depan. Dan, ingat, jurnalis nggak punya reputasi yang bagus. Bisa jadi susah buat para guru buat ambil resiko buat mereka.

"Ada kelembaman di sini," kata Schneider, "dan ini adalah masalah yang mendesak."

Di Universitas Maryland, Murphy bilang dia nggak mikir ada kebencian bawaan terhadap jurnalis di antara temen-temen mahasiswanya. "Mereka nggak punya pengalaman baca jurnalisme," katanya.

Di situlah dia liat industri jurnalisme perlu lebih berusaha. Salah satu hal yang paling bikin dia frustrasi dengan bidang pilihannya adalah perlawanan terhadap perubahan, terutama ketidakinginan atau ketidakmampuan untuk pake media sosial dengan cara yang berarti.

"Hampir nggak ada gerakan ke arah pergi ke tempat di mana orang-orang berada, dibanding mengharapkan mereka datang ke tempat kamu," kata Murphy. "Satu-satunya cara untuk balikin keadaan adalah dengan beralih ke melakukan hal-hal yang memikat orang saat ini, dibanding memikat orang 20 tahun yang lalu."