Aku punya spektrum autisme. Aku disleksia. Aku seorang CEO. Aku seorang Wakil Presiden Senior. Aku seorang aktor. Aku bisa isi titik-titik ini. Amerika itu negeri label. Tapi, saat jumlah dan kekuatan label kita bertambah, krisis kesehatan kita juga tumbuh — mental, fisik, dan bahkan spiritual.
Diagnosis kita, penyakit kita, pekerjaan kita, gelar kita, preferensi seksual kita — ini semua nyata, tapi itu tidak mendefinisikan kita. Atau setidaknya, seharusnya tidak — karena jika label yang mendefinisikan kita, kita juga terkurung oleh label kita. Saat kita hidup di dalam sebutan kita, kita mengecilkan cakupan siapa yang bisa kita jadi. Ini adalah salah satu faktor yang memicu krisis kesehatan mental, yang sebenarnya menunjukkan krisis spiritual yang lebih besar.
Neurolog Suzanne O’Sullivan, dalam bukunya The Age of Diagnosis, memperingatkan bahwa masalah kesehatan yang ringan sekarang jadi diagnosis yang kaku, dan perbedaan normal dianggap sebagai penyakit. Buku DSM-5, yang seperti kitab sucinya psikiatri, mencantumkan 297 kondisi. Sekarang, satu dari sembilan anak di Amerika didiagnosis ADHD — ini satu juta lebih banyak dari tahun 2016.
Tentu saja, diagnosis bisa menyelamatkan hidup. Diagnosis bisa bantu bangun komunitas dan memberi akses ke perawatan penting. Seperti kata O’Sullivan, diagnosis membuat orang lebih baik kepada diri sendiri dan membuat perubahan. Tapi penjelasan yang berguna bukanlah sebuah identitas.
Bagaimana cerita menyelamatkan dan menjebak kita
Seperti tulis Rachel Aviv, "Ada cerita yang menyelamatkan kita, dan cerita yang menjebak kita." Bahayanya datang ketika kita terlalu mengidentifikasi diri dengan label. Cerita dan label yang membantu kita juga bisa membatasi kita, mengecilkan realitas kita.
Hal ini tidak hanya untuk diagnosis medis. Peran apapun yang benar-benar menguasai kita bisa bikin "role engulfment". Atlet yang jadikan olahraga sebagai identitas tunggalnya sering alami masalah mental saat karirnya berubah. Karyawan yang terlalu fokus pada pekerjaan sulit untuk istirahat dengan benar. Pensiunan yang identitasnya hanya dari pekerjaan sering merasa tidak punya tujuan lagi.
Aku lihat ini baru-baru ini. Seorang teman punya suami yang sangat sukses tapi sangat menderita di pekerjaannya. Dia menyarankan suaminya untuk berhenti. Tapi suaminya bilang, "Tapi aku akan jadi siapa tanpa pekerjaanku?" Saat kita tidak bisa bayangkan diri kita tanpa gelar tertentu, kita kehilangan kesempatan untuk tumbuh. Label menjadi langit-langit kita.
Ini juga terlihat di kehidupan publik Amerika. Sulit membayangkan di tahun 1797, George Washington memilih untuk tidak mencalonkan diri lagi jadi Presiden. Dan ini sulit terutama saat kita lihat pejabat seperti Dianne Feinstein, yang tetap bertahan di jabatan meski kemampuannya jelas menurun.
Berpegang pada satu label punya biaya yang nyata. Semakin kita definisikan diri dengan satu peran, kita jadi kurang toleran dan kurang bisa beradaptasi. Media sosial memperbanyak efek ini, mendorong kita ke ruang gema yang memperkuat rasa diri yang terbatas.
Saat kita definisikan diri dengan kesuksesan atau penampilan, kegagalan atau penuaan jadi ancaman besar. Carl Jung menulis tentang bahaya terlalu mengidentifikasi dengan "persona" kita: "… profesor dengan buku teksnya, penyanyi dengan suaranya. Saat itu terjadi, kerusakannya sudah done."
Diagnosis dan deskripsi pekerjaan memberi tahu kita apa yang kita punya atau apa yang kita lakukan — bukan siapa kita. Jika Teilhard de Chardin benar, dan "kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman manusia," maka kemungkinan kita tidak terbatas. Tidak ada label, betapapun berkuasanya, dan tidak ada pekerjaan, betapapun pentingnya, yang bisa menampung seluruh kemungkinan siapa kita bisa menjadi.