Tahun 1960-an dan 1970-an adalah salah satu contoh paling berwarna dan banyak dari hidup komunal. Generasi muda—baby boomers waktu itu—membuat komunitas yang terbuka buat siapapun yg mau menolak budaya arus utama dan lari dari kehidupan kota.
Hidup komunal juga lebih murah. Komunitas—yg banyak dipengaruhi gerakan hippie, penolakan terhadap budaya mainstream dengan damai, cinta, kebebasan, dan individualisme—menggabungkan sumber daya untuk sewa, makanan, dan kebutuhan lain, sehingga biaya lebih rendah, menurut artikel The New York Times tahun 1970. Rumah dipakai bersama beberapa orang, sehingga biaya sewa turun dan tidak butuh peralatan terpisah.
(Gambar: Komunitas hippie tahun 1960-an. Sumber: Getty Images—Carl Iwasaki)
Hidup komunal populer 50-60 tahun lalu. Sekarang, tren ini muncul lagi di kalangan Gen Z, tapi dengan alasan berbeda.
Menurut laporan oleh National Mortgage Insurance Corporation, hampir sepertiga Gen Z terbuka membeli rumah bareng teman atau keluarga (disebut co-buying). 18% milenial juga setuju. Laporan Opendoor 2024 menyebut lebih dari 3 dari 4 pembeli rumah pertama kali membeli bersama orang tua, saudara, teman, pasangan, atau rekan kerja.
Ini bukan cuma tren. Agen properti bilang gerakan ini sudah terlihat di pasar perumahan. TikTok dan Instagram juga penuh video Gen Z dan milenial yg beli rumah bersama.
—
Hidup Komunal di Seluruh AS
Patti Cooper, agen properti di Fairfield County, bilang tren co-buying makin populer karena harga rumah naik drastis sejak pandemi. Suku bunga KPR hampir 7%, dan orang butuh penghasilan 6 angka buat beli rumah dengan harga rata-rata $422.000, kata National Association of Realtors (NAR).
"Orang tua jual rumah dan gabung pendapatan dengan anak buat beli rumah besar dengan unit terpisah," katanya. Meskipun bisa berjalan baik, generasi muda tetap mau punya ruang sendiri.
"Adik kakak juga beli rumah bareng karena biaya sewa mahal. Lebih terjangkau," tambahnya. "Juga karena utang pendidikan bikin susah dapat KPR sendirian."
Elena Novak, peneliti properti di Property Checker, bilang lebih banyak Gen Z dan milenial "kerja sama" beli rumah dalam 2 tahun terakhir.
"Awalnya, dua saudara atau teman kuliah gabung tabungan beli kondominium yg tak terjangkau sendirian," kata Novak. "Sekarang, bahkan tiga rekan kerja atau empat orang bareng cari rumah."
"Peningkatannya jelas dibanding lima tahun lalu," lanjutnya, "ketika co-buying hampir tidak ada di luar pasangan menikah."
Bar Zakheim, CEO Better Place Design and Build, bilang opsi lain buat Gen Z adalah bangun ADU (unit tambahan) di lahan orang tua.
"Perhitungannya tidak masuk akal, apalagi di San Diego dengan biaya perumahan tertinggi di AS," kata Zakheim. Co-buying atau bangun ADU "bantu mereka dapat solusi perumahan dengan biaya jauh lebih murah."
Meskipun gerakan hippie mungkin tak terulang, tren co-buying Gen Z dan milenial diprediksi terus berlanjut.
"Berbeda dengan eksperimen hidup komunal tahun 1970-an—yang muncul bersamaan perubahan budaya lalu menghilang saat ekonomi membaik—co-buying sekarang didasari ekonomi sulit," kata Novak. Faktor seperti harga rumah dan KPR tinggi "menunjukkan co-buying bukan cuma tren sementara. Ini bisa jadi jalan permanen buat punya rumah."