Bahaya Perang dengan Iran

Buka White House Watch newsletter gratis

Panduan kamu untuk arti masa jabatan kedua Trump bagi Washington, bisnis, dan dunia.

Pergi perang selalu seperti judi. Iran, Israel, dan sekarang AS sudah melempar dadu.

Dalam jangka pendek, kelihatannya Israel menang. Pemerintahan Benjamin Netanyahu berhasil bunuh banyak pemimpin militer Iran dan rusak infrastruktur nuklir serta militernya. Israel juga sukses menarik AS ikut perang.

Keputusan Donald Trump ikut konflik, sebagian, karena lihat kesuksesan Israel. Presiden AS selalu ingin terlihat menang dan, setelah serangan bom AS ke Iran, dia klaim "kemenangan militer spektakuler."

Sebaliknya, strategi Iran untuk pimpin "poros perlawanan" ke Israel—sambil hindari konflik terbuka—gagal total. Selama puluhan tahun, Iran pintar majukan kepentingannya di kawasan lewat kelompok seperti Hizbullah, Hamas, dan Houthi, sambil kembangkan program nuklir sendiri.

Dulu, strategi Iran terlihat halus dan efektif. Di negara-negara Teluk, banyak yang protes bahwa empat ibu kota Arab—Beirut, Baghdad, Damaskus, dan Sana’a (di Yaman)—dikontrol oleh pasukan pro-Iran. Iran juga hampir punya kemampuan buat senjata nuklir.

Tapi strategi jangka panjang ini sekarang hancur. Rezim Assad jatuh di Suriah, Hizbullah dan Hamas rusak parah oleh Israel. Sekarang rezim Iran sendiri langsung diserang.

Tapi akibat perang ini dalam jangka menengah dan panjang masih belum jelas. Israel akan susah ubah kemenangan taktis jangka pendek—seberapa spektakuler pun—menjadi keamanan jangka panjang. AS punya pengalaman pahit lihat kemenangan militer awal berubah jadi perang panjang.

Rezim Iran sekarang di bawah serangan besar. Tapi serangan bom jarang ganti rezim. Jadi rezim bisa bertahan dan siap tempur lagi.

Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dan sisa militer sekarang punya pilihan buruk. Secara emosi, mereka ingin balas dendam. Tapi Trump janji bahwa balasan Iran akan bikin serangan AS lebih keras.

MEMBACA  Pejabat Tertinggi UE Serukan Momen Kemerdekaan Eropa Hadapi Ancaman Rusia

Untuk bertahan hidup, pemimpin di Tehran mungkin pilih balas dendam minimal lalu cari solusi diplomatik. Tapi Iran juga takut, seperti kata neokonservatif AS, "kelemahan itu provokatif." Gagal membalas bisa undang serangan lebih dari Israel dan bikin musuh dalam negeri Iran lebih berani.

Tehran juga tahu Trump putuskan bom meski dapat tentangan dari pendukungnya—yang takut AS masuk "perang abadi" lagi. Jika Iran serang target AS di Timur Tengah atau naikkan harga minyak dengan tutup Selat Hormuz, tentangan dalam AS akan makin besar. Reaksi pertama Trump pasti balas. Tapi dia tidak stabil dan bisa berubah pikiran cepat, apalagi di bawah tekanan politik dalam negeri.

AS juga pernah mundur dari konflik Timur Tengah setelah rugi besar. Bom di markas marinir AS di Beirut tahun 1983, yang disalahkan ke Hizbullah, bunuh 241 orang AS—dan bikin AS memutuskan mundur dari Lebanon, bukan eskalasi.

Kenangan seperti itu tunjukkan risiko yang Trump ambil. Satu-satunya hasil yang bikin AS bisa klaim "misi selesai" adalah jika Iran bongkar program nuklirnya sepenuhnya dan rezim sekarang diganti pemerintahan pro-Barat yang stabil, tanpa keinginan konflik lagi dengan AS atau Israel.

Hasil itu sangat tidak mungkin. Kemungkinan lain adalah Iran terluka tapi masih bermusuhan—bisa balas dendam dengan cara tak terduga. Kemungkinan kedua adalah rezim sekarang runtuh, diikuti konflik sipil—yang bisa tarik pihak luar atau bikin teroris punya tempat aman. Kedua hasil ini bisa tarik AS ke perang Timur Tengah lagi, termasuk kirim pasukan darat.

Ketidakpastian pilihan Iran dan ketahanan AS tunjukkan rapuhnya kesuksesan Israel sekarang. Pemerintahan Netanyahu sekarang berperang di banyak front—Gaza, Iran, dan sedikit di Suriah, Lebanon, Yaman, serta Tepi Barat. Mereka tidak punya rencana jelas untuk akhiri konflik-konflik ini.

MEMBACA  CFO Expensify Ryan Schaffer menjual saham senilai $5975 oleh Investing.com

Israel sudah hampir jadi kekuatan super di Timur Tengah. Mereka punya senjata nuklir (tidak diakui) dan dukungan AS. Tapi, dalam jangka panjang, tidak mungkin negara dengan 10 juta orang kuasai wilayah dengan populasi ratusan juta.

Israel juga ambil risiko besar dengan hubungan AS. Perang brutal di Gaza rusak reputasinya di mata Demokrat. Jika Netanyahu disalahkan bawa AS ke "perang abadi" lagi, tentangan AS ke Israel bisa jadi dua partai dan bertahan lama.

Dengan cara berbeda, Iran, Israel, dan AS sudah bertaruh pada perang. Risikonya, mereka semua bisa jadi pecundang.

[email protected]