Bagaimana Raksasa Perangkat Lunak Workday Mendorong 79% Karyawannya Mengadopsi AI

Pemimpin di perusahaan raksasa perangkat lunak Workday ingin karyawan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI). Tapi setelah riset internal, mereka menemukan beberapa kendala.

Studi mereka menunjukkan 43% karyawan Workday (disebut “Workmates”) bilang mereka gak punya cukup waktu buat eksplor AI. Lebih dari sepertiganya juga ragu cara pakai alat baru ini dan khawatir soal keandalan sama akurasinya.

“Kita sangat ingin mereka mencoba, tapi mereka merasa gak punya waktu atau izin,” kata Ashley Goldsmith, kepala divisi SDM Workday. “Kami sedang ubah pola pikir ini.”

Biar makin banyak yang pakai AI, Workday adakan rapat besar bulan April yang menampilkan testimoni dari karyawan tentang manfaat AI. Mereka juga buat akademi digital buat latihan AI dan “prompt-a-thon” tempat karyawan bisa diskusi masalah yang bisa diatasi pake AI.

Tahun ini, manajemen juga mewajibkan semua 19.300 karyawan buat bikin target pribadi soal cara pakai AI untuk kerja dan belajar. Kemajuan mereka bakal dinilai manajer akhir tahun.

Inisiatif “Everyday AI” ini dibuat setelah analisis internal yang tunjukkan bahwa saran dari rekan kerja lebih efektif daripada penjelasan dari manajemen. Perusahaan juga tekankan bahwa eksperimen sangat dianjurkan dan kerja lebih cepat dengan AI lebih baik daripada gak pakai sama sekali.

Tujuan “Everyday AI” adalah naikin penggunaan AI di perusahaan sebesar 20% dari awal 2025. Sampai Mei, angkanya malah mencapai 37%, dengan 79% karyawan sekarang pakai AI. Alat yang dipakai termasuk chatbot Workday Assistant sampai fitur AI dari Zoom, Google, dan Slack.

Jim Stratton, wakil presiden senior teknologi Workday, bilang pendekatannya terhadap AI generatif berubah beberapa tahun terakhir. Dulu perusahaan luncurkan fitur baru ke semua pelanggan sekaligus, tapi sekarang AI dikeluarkan bertahap buat pengguna awal dulu.

MEMBACA  Trump Media membidik layanan pembayaran kripto untuk mendukung Truth Social

Stratton lebih fokus ukur ROI (return on investment) AI, terutama buat alat yang bantu spesialis dukungan pelanggan atau developer. Tapi ROI lebih susah diukur kalo dipakai buat prediksi penjualan atau bikin presentasi ke klien.

Workday juga tekankan prinsip AI bertanggung jawab, termasuk pengujian dan penilaian risiko. Beberapa keputusan penting seperti gaji atau promosi harus tetap di tangan manusia.

“Untuk waktu lama, manusia pasti masih jadi pengambil keputusan kritis,” kata Stratton.

Sementara itu, kekhawatiran soal dampak AI di tempat kerja meningkat, terutama setelah peringatan CEO Anthropic bahwa AI bisa hapus 50% pekerjaan entry-level. Workday sendiri PHK 1.750 karyawan bulan Februari karena fokus ke investasi AI.

Dengan produktivitas developer naik 20% atau lebih, Stratton akui karyawan mungkin takut perusahaan butuh lebih sedikit orang buat kerja yang sama. “Mungkin benar,” katanya. “Tapi dengan jumlah orang sama, kita bisa hasilkan lebih banyak produk.”

Goldsmith bilang AI mungkin ambil alih beberapa pekerjaan, tapi dia percaya AI bermanfaat buat bisnis dan karyawan. Tantangannya adalah meyakinkan karyawan buat pakai AI tanpa takut kehilangan pekerjaan.

“Kita bisa investasi lagi uangnya ke teknologi dan tingkatkan dukungan untuk pelanggan,” katanya. “Begitu cara kami jelasin ke karyawan. Ini buat bantu mereka, bukan gantikan.”

Perkenalkan Fortune AIQ

AI mengubah dunia kerja. Fortune baru luncurkan hub Fortune AIQ buat eksplor dampak AI. Mereka wawancara perusahaan-perusahaan pelopor AI dan akan rilis panduan berdasarkan pengalaman mereka. Panduan pertama bahas aspek “manusia” dalam penerapan AI yang sama pentingnya dengan teknisnya.

Perusahaan ubah proses rekrutmen buat cari kandidat dengan skill AI — Baca selengkapnya

‘Kelelahan AI’ mulai muncul karena banyak percobaan gagal — Baca selengkapnya

MEMBACA  China mengecam kritik asing terhadap undang-undang keamanan nasional Artikel 23 Hong Kong yang akan datang Oleh Reuters

AI ubah cara karyawan berlatih — Baca selengkapnya

AI bantu pekerja blue-collar hadapi kekurangan tenaga kerja — Baca selengkapnya

Cara perusahaan jaga keamanan data di era AI — Baca selengkapnya

Cerita ini pertama kali muncul di Fortune.com