Rabu, 22 Oktober 2025 – 22:38 WIB
Di tanah yang kaya akan hutan dan kearifan lokal, api kembali menyala. Tapi kali ini bukan untuk upacara adat, melainkan untuk membakar harga diri.
Baca Juga:
KPK Beberkan Alasan Periksa Tukang Cukur Lukas Enembe
Aksi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua yang dipimpin Joni Santoso Silaban membakar mahkota Cenderawasih, simbol suci masyarakat asli Papua, telah memicu gelombang kemarahan yang menyebar hingga ke pelosok Tanah Papua.
Bagi masyarakat adat, mahkota Cenderawasih bukan cuma hiasan kepala biasa. Itu adalah simbol kehormatan, kemakmuran, dan jati diri orang Papua. Dibakar di depan umum, direkam, dan diviralkan seolah hanya barang sitaan yang tidak ada artinya, tindakan itu dianggap seperti menabur garam di atas luka.
Baca Juga:
Ketua DPD Sultan Telepon Menkes Minta RS Kemenkes Dibangun di Bengkulu, Langsung Disetujui
“Apa yang dilakukan Kepala Balai Besar itu saya kecam keras!" tegas Senator Papua Barat Daya, Paul Finsen Mayor (PFM), yang juga merupakan Ketua Dewan Adat Papua Wilayah III Doberai, Rabu 22 Oktober 2025.
“Mahkota Cenderawasih itu sakral. Itu simbol harga diri orang Papua. Dibakar artinya menghina adat, merendahkan jati diri, dan menodai martabat kami," tambahnya.
Baca Juga:
Soroti Penggerebekan Pesta Seks Gay di Surabaya, DPD: Masa Depan Indonesia Terancam
PFM menilai, langkah BBKSDA dalam menertibkan kepemilikan atribut dari satwa dilindungi seharusnya dilakukan dengan pendekatan budaya dan edukasi, bukan dengan tindakan simbolik yang malah bikin orang marah.
“Kenapa harus dibakar? Apa tidak ada cara lain yang lebih baik?” kata PFM dengan nada keras.
“Mahkota itu seharusnya disimpan di museum sebagai warisan budaya, bukan dijadikan tontonan lalu diupload di media sosial. Ini bukan penegakan hukum, tapi penghinaan terbuka terhadap adat Papua," ucapnya.
Tindakan pembakaran itu, yang katanya dilakukan untuk menegakkan aturan konservasi, justru menunjukkan betapa kurangnya empati pejabat pusat terhadap nilai-nilai lokal. Menurut banyak tokoh adat, langkah ini adalah bentuk arogansi birokrasi yang tidak paham budaya.
“Kalau datang ke Papua, pelajari dulu jati diri dan adat istiadat kami,” tegas PFM.
“Jangan bawa aturan tanpa hati nurani. Jangan bakar simbol suci kami, lalu bersembunyi di balik kata ‘penertiban’. Itu bukan penegakan hukum, itu penghinaan! Saya kecewa dengan tindakan kepemimpinan anda," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
PFM juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera mencopot Joni Santoso Silaban dari jabatannya sebagai Kepala BBKSDA Papua.