Jakarta (ANTARA) – Indonesia saat ini berada di persimpangan penting dalam menentukan arah masa depan teknologinya.
Ditengah perkembangan cepat kecerdasan buatan (AI) secara global, Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah menyiapkan peta jalan nasional AI yang dijadwalkan akan selesai dalam tiga bulan.
Meskipun inisiatif ini bisa dipuji sebagai upaya membangun landasan strategis, ada beberapa kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan.
Khususnya, peta jalan tersebut tidak boleh menjadi dokumen normatif yang hanya fokus pada literasi, regulasi, dan etika, tetapi melupakan inti utamanya yang akan mendorong teknologi ini—industrialisasi dan komersialisasi.
Tanpa fokus pada membangun ekosistem permintaan-pasokan yang konkret, peta jalan AI tidak akan membantu Indonesia mencapai tujuannya.
Aspek yang mengatur literasi, regulasi, dan etika memang penting, tetapi tanpa secara nyata menyentuh industrialisasi dan komersialisasi, peta jalan akan berisiko menjadi dokumen elitis yang tidak mengatasi kebutuhan nyata.
Ditengah euforia global mengenai kemajuan AI, penting untuk merancang kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri AI lokal, dan tidak hanya fokus pada menciptakan bakat untuk raksasa teknologi global.
Indonesia memiliki bakat AI yang patut diperhitungkan. Banyak anak muda Indonesia telah bergabung dengan perusahaan-perusahaan besar seperti Google, Meta, dan TikTok.
Namun, di dalam negeri, produk AI lokal tampaknya terpinggirkan. Akar permasalahan bukanlah kurangnya kreativitas atau keahlian teknis, melainkan ketiadaan dukungan sistemik untuk pertumbuhan industri AI.
Hambatan utama pertumbuhan industri AI adalah: kurangnya akses terhadap data nasional, pembiayaan, dan ketiadaan insentif untuk adopsi dari lembaga-lembaga lokal.
Ketua komite AI Asosiasi Bisnis Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (APTIKNAS) Karim Taslim telah menyarankan untuk mengadopsi pendekatan yang lebih strategis dengan menambahkan pilar-pilar industrialisasi dan komersialisasi dalam peta jalan nasional AI.
Berita terkait: Indonesia memajukan AI etis: Menteri
Saran tersebut bertujuan untuk mengubah paradigma pengembangan AI di Indonesia.
Salah satu saran yang paling konkret adalah mengenai peran negara sebagai pembeli pertama produk AI lokal.
Ketika negara memberikan kesempatan untuk solusi lokal digunakan dalam proyek-proyek nasional strategis, itu dapat menciptakan pasar domestik yang sehat dan mendorong kelangsungan bisnis pengembang lokal.
APTIKNAS telah menunjukkan bahwa pendekatan ini bukan hanya retorika semata. Sejak 2020, mereka telah meluncurkan program AI Incubation Camp dan Indonesia AI Innovation Challenge dengan dukungan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Program-program ini telah menghasilkan beberapa startup yang mampu bersaing di tingkat global. Salah satunya adalah LUDESC, yang telah mengembangkan sistem skrining penyakit paru berbasis IoT.
Berita terkait: UMKM Indonesia didorong untuk adopsi AI untuk pertumbuhan ekspor
Juga ada AeroBuddy, dengan analitik AI-nya untuk industri penerbangan, dan MersifLab, dengan laboratorium virtualnya.
Namun, potensi luar biasa ini tidak akan berubah menjadi lonjakan besar tanpa dukungan serius dari pemerintah untuk industrialisasi AI.
Ekosistem industri
Idealnya, dukungan ini tidak hanya berupa inkubasi dan pelatihan teknis. Diperlukan pembentukan ekosistem pelatihan yang melatih para pendiri startup.
AI, di sisi non-teknisnya, meliputi validasi pasar, strategi bisnis, kemampuan manajerial, kepemimpinan, dan manajemen keuangan.
Banyak pendiri startup AI di Indonesia sangat kuat dalam teknologi tetapi lemah dalam membangun organisasi yang berkelanjutan.
Juga ada beberapa pendiri tunggal, yang bekerja sendirian tanpa tim, yang akhirnya gagal karena tidak memiliki keterampilan untuk menjual dan mengembangkan bisnis mereka.
Berita terkait: Indonesia melibatkan Google untuk melatih guru dalam coding, AI
Beberapa elemen penting dalam peta jalan yang diusulkan oleh APTIKNAS adalah akses pasar dan perlindungan untuk produk domestik.
Diplomasi digital perlu diarahkan untuk membuka peluang ekspor AI Indonesia, khususnya ke negara-negara ASEAN dan Afrika.
Di dalam negeri, perlindungan untuk produk lokal melalui kebijakan seperti persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk AI diperlukan.
Ini tidak berarti bahwa Indonesia harus menutup diri dari teknologi global; sebaliknya, harus memastikan bahwa tidak hanya sebagai konsumen atau penyedia tenaga kerja murah untuk industri AI asing.
Tiongkok adalah contoh konkret bagaimana sebuah negara dapat memainkan peran aktif dalam membangun industri AI yang kuat.
Pemerintah Tiongkok memberikan dukungan luar biasa kepada startup lokal seperti DeepSeek sehingga mereka dapat menembus pasar global.
Indonesia bisa belajar dari ini, karena negara memiliki ekosistem yang unik. Namun, persyaratan utama adalah bahwa negara harus hadir sebagai penggerak utama industrialisasi AI.
Tantangan besar kedepan bukanlah kurangnya bakat, tetapi kurangnya strategi. Jika peta jalan AI nasional tidak menyentuh aspek industrialisasi dan komersialisasi, Indonesia akan hanya menghasilkan lulusan dan inovator hebat yang akhirnya bekerja untuk ekosistem asing.
Saatnya bagi Indonesia untuk menyadari bahwa AI bukan hanya kemajuan teknologi, tetapi juga terkait dengan geopolitik, kedaulatan data, dan daya saing ekonomi.
Diperlukan pandangan masa depan AI di Indonesia yang jelas dan realistis. Negara harus hadir sebagai mitra strategis dalam membangun industri AI nasional yang tangguh, mandiri, dan membawa kemakmuran bagi rakyatnya.
Penerjemah: Hanni Sofia, Raka Adji
Editor: Rahmad Nasution
Hak Cipta © ANTARA 2025