Wacana Redenominasi Rupiah: Sudah Sampai Waktunya?

Redenominasi Rupiah: Perlukah Sekarang?

Oleh: Perdana Wahyu Santosa
Guru Besar Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI, dan Direktur Riset GREAT Institute

Wacana redenominasi rupiah kembali menghangat. Gagasan untuk menyederhanakan digit pada nominal uang tanpa merubah daya beli ini kali ini dilontarkan oleh Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Pemerintah menyatakan sedang menyiapkan RUU Redenominasi sebagai bagian dari agenda reformasi moneter-fiskal jangka menengah, dengan target rampung pada 2026–2027.

Rencana ini bukan ide baru. BI pernah mendorongnya sejak 2010, dan DPR mengkajinya pada 2012. Diskusi publik kembali panas setelah masuk ke dalam Renstra Kemenkeu 2025–2029. Di tengah pergantian menteri keuangan, isu ini mendapat momentum politik yang kuat. Namun, momentum saja tidak bisa menggantikan prasyarat teknis yang diperlukan.

Redenominasi akan berhasil jika ekonomi stabil, inflasi rendah, sistem pembayaran siap, dan komunikasi publiknya tepat agar tidak disalahartikan sebagai sanering (pemotongan nilai uang).

Apa Urgensinya Tinggi?

Ada beberapa argumen yang mendukung urgensi kebijakan ini:

  1. Efisiensi: Memotong nol akan menyederhanakan pencatatan akuntansi, penganggaran, dan tampilan di sistem pembayaran seperti POS atau ATM, sekaligus mengurangi kesalahan dalam membaca angka.
  2. Kredibilitas: Nominal yang lebih ringkas dianggap dapat meningkatkan gengsi Rupiah dalam perbandingan internasional dan menciptakan persepsi stabilitas.
  3. Transformasi Infrastruktur: Momen ini bisa dimanfaatkan untuk memperbarui sistem pembayaran seperti QRIS dan real-time payments secara bersamaan.

    Namun, urgensi yang "tinggi" tidak terjadi secara otomatis. Redenominasi bukanlah obat untuk inflasi atau nilai tukar; ia lebih seperti kosmetik yang berguna hanya jika fondasi makroekonomi sudah kuat. Jika inflasi sedang tinggi atau ekspektasi masyarakat goyah, risiko salah paham akan meningkat.

    Banyak ekonom memperingatkan potensi masalah jika persiapannya terburu-buru, seperti kebingungan harga, beban biaya transisi untuk UMKM, dan rounding-up yang memicu inflasi mikro. Jadi, urgensi kebijakan ini bersifat kondisional: tinggi jika semua prasyarat terpenuhi dan roadmap-nya kredibel. Jika tidak, lebih baik ditunda.

    Manfaat Inti: Efisiensi Transaksi dan Pelaporan

    Aktivitas mengetik, mencatat, dan menampilkan harga menjadi lebih ringkas. Standar akuntansi, sistem kasir, dan ERP juga lebih sederhana. Masa transisi dengan label ganda (lama dan baru) dapat mengajarkan disiplin pembulatan dan transparansi. Yang tak kalah penting, ini menjadi sinyal kredibilitas. Negara yang berhasil melakukan redenominasi biasanya memiliki komunikasi publik yang solid dan konsisten, menekankan bahwa ini bukan pemotongan nilai, hanya penyederhanaan satuan.

    Resiko Utama

    • Rounding Inflation: Pedagang berpotensi membulatkan harga ke atas, terutama untuk barang-barang dengan harga psikologis tertentu. Diperlukan kebijakan pecahan uang kecil (koin/uang elektronik) agar pembulatan ke bawah juga memungkinkan.
    • Beban UMKM: Penggantian mesin kasir, label harga, dan materi promosi membutuhkan biaya yang tidak kecil. Mekanisme insentif seperti keringanan pajak atau voucher digital untuk masa transisi sangat penting.
MEMBACA  Rencana Era Biden untuk Ganti Rugi Penumpang Akibat Keterlambatan Maskapai Sudah Tak Berlaku