Jakarta, Indonesia—(ANTARA/Business Wire)—Universitas Melbourne, bekerja sama dengan Indonesia Council, menyelenggarakan ICOC 2025, pertemuan multidisiplin penting bagi para ahli Indonesia di Hemisfer Selatan. Selama empat hari, Indonesia Council Open Conference (ICOC) menghimpun lebih dari 350 akademisi, mahasiswa, pembuat kebijakan, seniman, dan pemimpin komunitas dari Australia, Indonesia, dan negara lain untuk diskusi serius tentang masa depan kawasan ini.
Konferensi dwitahunan ini gratis dan terbuka, menghadirkan suara-suara baru dan mapan dalam studi Indonesia. Peserta membahas isu-isu terkini, mulai dari tata kelola lingkungan dan ketahanan iklim hingga pembangunan ekonomi, kesetaraan gender, hak masyarakat adat, transformasi demokrasi, dan seni. Tema "Indonesia Sekarang: Delapan Puluh Tahun Kemerdekaan" menjadi kesempatan untuk merefleksikan pencapaian masa lalu dan merancang arah baru bagi Indonesia di bidang hukum, kesehatan, agama, pendidikan, gerakan sosial, dan lainnya.
Profesor Jennifer Balint, Dekan Fakultas Seni, mengatakan: “Universitas Melbourne lama menjadi jembatan dalam hubungan Australia-Indonesia, menerima mahasiswa Indonesia dan berkolaborasi dalam penelitian selama hampir delapan dekade. Kampus kami diperkaya oleh akademisi Indonesia, dan studi Indonesia menghidupkan kehidupan intelektual kami. ICOC 2025 merayakan hubungan abadi ini dan membangun yang baru untuk masa depan.”
Program ini menampilkan lebih dari 180 makalah yang dipresentasikan oleh para ahli, mencakup beragam penelitian dan perspektif inovatif. Salah satu sorotan konferensi adalah pidato kunci oleh Farwiza Farhan, pemimpin lingkungan terkenal Indonesia dan penerima Ramon Magsaysay, yang karyanya di Ekosistem Leuser, Sumatra, menjadi model global untuk perlindungan keanekaragaman hayati.
Farhan berbicara tentang tata kelola lingkungan Indonesia, merefleksikan kemajuan dan tantangan yang terjadi sejak kemerdekaan negara ini. "Indonesia siap memanfaatkan teknologi dan inisiatif berbasis komunitas untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan dan ketahanan iklim. Namun, kita harus tetap waspada, memastikan kemajuan tidak mengorbankan keanekaragaman hayati atau kesejahteraan masyarakat. Bab berikutnya dari cerita lingkungan Indonesia haruslah tentang konservasi inklusif, menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pengelolaan ekologis," ujarnya.
Acara ini juga menampilkan Australia-Indonesia in Conversation tahun kelima, kemitraan dengan Universitas Gadjah Mada yang berfokus pada Pengetahuan Adat, serta tur eksklusif pameran "65.000 Tahun: Sejarah Singkat Seni Australia" di Ian Potter Museum of Art, yang merayakan suara Bangsa Pertama dan koneksi lintas budaya.
Mencerminkan komitmen mendalam universitas terhadap agenda nasional Indonesia, Dr. Ken M.P. Setiawan meluncurkan "The Routledge Handbook of Human Rights in Southeast Asia" di konferensi bersama rekan penyunting Profesor Amalinda Savriani dari UGM, bersama banyak publikasi relevan lainnya.
Profesor Michael Wesley, Wakil Rektor (Global, Budaya, dan Keterlibatan), mencatat: "Kami berkomitmen untuk memberdayakan mitra Indonesia dan memperkuat ikatan yang menguntungkan kedua masyarakat melalui penelitian dan pendidikan."
"Keberhasilan ICOC 2025 menegaskan peran vital universitas dalam menyatukan berbagai suara untuk mengatasi tantangan global yang kompleks. Dengan memfasilitasi pertukaran ide dan koneksi antarmanusia, Universitas Melbourne terus meningkatkan hubungan Australia-Indonesia dan memperkuat dampaknya di kedua negara," tutupnya.
Di tahun ke-70 pengajaran bahasa Indonesia, Universitas Melbourne tetap berkomitmen pada kerja sama dengan lembaga Indonesia melalui program inovatif, inisiatif penelitian bersama, dan ikatan akademik yang kuat.
Pelajari lebih lanjut tentang ICOC di sini.
Kontak Media:
Rutvi Mehta
[email protected]
+91 86194 30473
Shreya Bhattacharya
[email protected]
+91 8582891650
Reporter: PR Wire
Editor: PR Wire
Hak Cipta © ANTARA 2025