Jakarta (ANTARA) – Wabah campak di Sumenep, Jawa Timur, telah menewaskan 17 anak dan diduga telah menginfeksi hampir 2.000 lainnya dalam delapan bulan terakhir.
Karena lonjakan kasus ini, otoritas kesehatan setempat telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).
Per 24 Agustus 2025, Kementerian Kesehatan mencatat ada 46 KLB campak di 42 kabupaten/kota yang tersebar di 14 provinsi, termasuk Kabupaten Sumenep.
Campak adalah infeksi saluran pernapasan yang menular dan ditandai dengan ruam kulit di seluruh tubuh serta gejala seperti flu yang disebabkan oleh virus rubella. Penyakit ini dapat dicegah melalui imunisasi.
Namun, cakupan imunisasi yang rendah dan keraguan orang tua terhadap vaksin disebut-sebut sebagai penyebab lonjakan kasus campak di Indonesia.
Rasa takut orang tua akan efek samping vaksin, serta hoaks dan informasi salah tentang bahan vaksin yang dikatakan tidak halal, telah berkontribusi pada rendahnya tingkat imunisasi.
Menurut Direktur Imunisasi Kemenkes, Prima Yosephine, orang tua yang masih ragu untuk membawa anaknya mendapatkan imunisasi telah mengakibatkan penurunan angka imunisasi anak, termasuk imunisasi campak, yang menurun dalam tiga tahun terakhir.
Dia menjelaskan bahwa pada tahun 2022, cakupan imunisasi campak, khususnya vaksin MR1 yang diberikan pada anak usia 9 bulan di Indonesia, mencapai 102,2 persen.
Pada tahun-tahun berikutnya, angka imunisasi menurun menjadi 95,4 persen pada 2023, 92 persen pada 2024, dan 45,1 persen per 24 Agustus 2025.
Penurunan angka imunisasi ini sangat memprihatinkan, mengingat anak-anak—yang sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang sempurna—sangat rentan terinfeksi berbagai penyakit.
Oleh karena itu, vaksinasi dianggap sebagai aspek penting dalam proses tumbuh kembang anak yang tidak boleh diabaikan baik oleh orang tua maupun pemerintah.
Aman
Kementerian Kesehatan memastikan bahwa semua vaksin yang disediakan pemerintah, termasuk yang tercantum dalam Program Imunisasi Nasional, aman, gratis, dan berkualitas tinggi.
Vaksin-vaksin tersebut juga telah mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pemerintah Indonesia berupaya memastikan anak-anak di seluruh negeri mendapatkan vaksinasi lengkap untuk melindungi mereka dari beberapa penyakit.
Imunisasi lengkap mengacu pada pemberian beberapa vaksin selama tahap perkembangan anak, sejak lahir hingga mereka memasuki sekolah dasar.
Imunisasi rutin lengkap terdiri dari imunisasi dasar untuk bayi usia nol hingga 11 bulan, termasuk satu dosis HBO, satu dosis BCG, tiga dosis DPT-HB-Hib, empat dosis tetes polio (OPV), satu dosis suntik polio (IPV), dan satu dosis Campak-Rubella (MR).
Untuk anak usia 18 hingga 24 bulan, imunisasi mencakup satu dosis vaksin DPT-HB-Hib dan satu dosis Campak-Rubella.
Kementerian Kesehatan menekankan pentingnya jadwal vaksinasi yang komprehensif, menunjukan bahwa imunisasi terbukti efektif dalam secara signifikan mengurangi jumlah kasus penyakit-penyakit ini.
Selain itu, ditekankan bahwa imunisasi dapat mencegah hingga lima juta kematian setiap tahunnya akibat penyakit, yang berarti sangat penting bagi generasi masa depan Indonesia.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2023, Indonesia menempati peringkat keenam secara global dalam jumlah anak yang tidak diimunisasi.
WHO mencatat bahwa dalam periode 2019-2023, sebanyak 1.356.367 anak di Indonesia tidak menerima imunisasi apa pun—yang disebut sebagai zero dose.
Oleh karena itu, wabah campak di Sumenep harus menjadi peringatan dan peluang penting untuk mengadvokasi pentingnya imunisasi anak.
Pemerintah telah mendesak semua orang tua dan pengasuh untuk segera membawa anak mereka ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan imunisasi.
Akselerasi
Menanggapi wabah campak di Sumenep, pemerintah melakukan akselerasi vaksinasi, menargetkan 78.569 anak di wilayah tersebut.
Semua anak yang ditargetkan untuk vaksin campak berusia 9 bulan hingga 6 tahun, dengan program berlangsung selama 21 hari, dari 25 Agustus hingga 14 September 2025.
Upaya lainnya termasuk meningkatkan deteksi kasus suspek campak melalui surveilans dan pemetaan kelompok masyarakat berisiko tinggi (bayi, ibu hamil, anak sakit berat, dan anak kurang gizi), serta melakukan penyelidikan epidemiologi lebih lanjut untuk mengidentifikasi sumber penularan dan kontak erat kasus.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menekankan perlunya anak divaksinasi campak karena penyakit ini lebih menular daripada COVID-19.
Menurut IDAI, risiko penularan campak adalah 12-18, dibandingkan dengan 8-10 untuk COVID-19.
Ini berarti jika satu orang terkena campak, mereka berisiko menginfeksi 12 hingga 18 orang. Sementara itu, jika satu orang terkena COVID-19, mereka berisiko menginfeksi delapan hingga 10 orang.
Ketua Umum IDAI, Dr. Piprim Basarah Yanuarso, menekankan bahwa cakupan imunisasi untuk kasus yang sangat menular harus sangat tinggi untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity).
Untuk campak, cakupan imunisasi harus di atas 95 persen untuk mencapai kekebalan komunitas, jelasnya. Wabah penyakit seperti itu dapat terjadi ketika kekebalan komunitas turun hingga 60 persen.
Wabah ini adalah hasil dari penurunan signifikan dalam cakupan imunisasi, tambahnya.
Oleh karena itu, edukasi terus-menerus kepada masyarakat dan meningkatkan kesadaran mereka untuk memvaksinasi anaknya terhadap penyakit menular perlu dilakukan.
"Imunisasi adalah hak dasar anak. Anak berhak untuk hidup sehat dan dilindungi dari penyakit berbahaya," tegas Piprim.
Berita terkait: Kemenkes pastikan keamanan semua vaksin pemerintah
Berita terkait: Kasus dugaan gagal ginjal di Jabar bisa jadi campak: menteri
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025