Tantangan dan jebakan dalam proses aksesi OECD bagi Indonesia

Jakarta (ANTARA) – Akses Indonesia ke organisasi antarpemerintah BRICS pada awal 2025 bertujuan untuk memperkuat kehadiran negara ini di panggung internasional.

Setelah BRICS, Indonesia berupaya untuk mendapatkan keanggotaan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), sebuah organisasi ekonomi yang menghimpun negara-negara dengan kebijakan ekonomi dan tata kelola yang mapan.

Didirikan pada tahun 1961, OECD bertujuan untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, memperkuat perdagangan global, dan meningkatkan standar hidup di negara-negara anggotanya.

Organisasi ini memiliki 38 negara anggota, termasuk Amerika Serikat (AS), Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Uni Eropa (UE). Para anggota bersama-sama menetapkan standar kebijakan di sektor-sektor seperti ekonomi, perpajakan, investasi, ketenagakerjaan, dan pendidikan.

Keanggotaan OECD sering dianggap sebagai “tanda kualitas” bagi suatu negara, karena menunjukkan bahwa negara tersebut memenuhi standar kesejahteraan ekonomi dan tata kelola yang tinggi.

Anggota OECD diharapkan melaksanakan reformasi untuk meningkatkan transparansi, memperkuat sistem hukum, dan menciptakan kebijakan ekonomi yang lebih ramah investasi.

Bergabung dengan OECD akan memiliki dampak besar bagi Indonesia, baik dalam hal daya saing internasional maupun kebijakan domestik.

Langkah ini dianggap sebagai strategi besar untuk meningkatkan ekonomi nasional ke level yang lebih kompetitif. Pada saat yang bersamaan, ini adalah upaya untuk menarik investasi dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.

Namun, meskipun memiliki manfaat, ada juga tantangan yang harus diuji secara kritis.

Bergabung dengan OECD dianggap sebagai pintu gerbang untuk menjadi negara maju. Standar kebijakan OECD terbukti memiliki dampak positif bagi negara-negara anggotanya.

Misalnya, Korea Selatan berhasil mempercepat industrialisasi dan meningkatkan daya saing ekonomi setelah bergabung dengan organisasi ini pada tahun 1996.

Negara tersebut juga mengalami peningkatan signifikan dalam investasi langsung asing (FDI) dan berhasil mempercepat reformasi di sektor keuangan dan regulasi bisnis.

Hal yang sama mungkin terjadi bagi Indonesia jika menggunakan akses sebagai kesempatan untuk mempercepat reformasi struktural yang selama ini berjalan lambat.

Meningkatkan kredibilitas

Peluang utama yang ditawarkan oleh keanggotaan OECD adalah peningkatan kredibilitas di mata investor global.

Hingga saat ini, banyak perusahaan global masih enggan untuk berinvestasi di Indonesia karena ketidakpastian regulasi, birokrasi yang rumit, dan kepastian hukum yang rendah.

MEMBACA  Saham BCG menyentuh titik terendah 52 minggu di $2.7 di tengah tantangan pasar Oleh Investing.com

Bergabung dengan OECD akan memaksa Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan ekonominya dengan standar global yang lebih transparan dan akuntabel.

Hal ini akan berdampak langsung pada peningkatan iklim investasi dan masuknya investasi asing yang lebih besar, terutama di sektor-strategis seperti manufaktur, energi hijau, dan teknologi.

OECD juga menawarkan platform yang dapat memperkuat diplomasi ekonomi Indonesia. Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia sering berada di persimpangan kepentingan antara kekuatan ekonomi global seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok.

Keanggotaan OECD dapat memperkuat posisi negosiasi Indonesia dalam perjanjian perdagangan internasional dan meningkatkan kekuatan tawar dalam menetapkan kebijakan ekonomi global.

Hal ini menjadi semakin relevan mengingat persaingan perdagangan antara negara-negara besar semakin ketat. Oleh karena itu, negara-negara berkembang seperti Indonesia harus memiliki strategi yang lebih kuat dalam menanggapi dinamika global.

Karenanya, pemerintah Indonesia menjadi lebih serius dalam menunjukkan komitmennya terhadap upaya transformasi menjadi negara maju dengan mempercepat akses ke OECD.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terus mengoordinasikan dengan beberapa kementerian dan lembaga serta pejabat dan negara-negara anggota OECD untuk menyiapkan Memorandum Awal Indonesia—tahap penting dalam akses ke OECD—untuk Pertemuan Dewan Menteri OECD.

Untuk mempercepat proses ini, delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, didampingi oleh Duta Besar Indonesia untuk Prancis, Muhammad Oemar, melakukan kunjungan kerja ke Paris, Prancis, dari 3–5 Maret 2025.

Menteri tersebut bertemu dengan Menteri Ekonomi, Keuangan, dan Kedaulatan Industri dan Digital Prancis, Eric Lombard; Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann; dan beberapa duta besar negara-negara anggota OECD.

“Serangkaian pertemuan tersebut mencerminkan komitmen dan keseriusan Indonesia dalam melakukan transformasi menjadi negara maju, melaksanakan reformasi struktural yang diperlukan dan sesuai dengan standar OECD,” kata beliau.

Reformasi skala besar

Akses Indonesia ke OECD telah mendapat dukungan dari beberapa pihak.

Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR, Mardani Ali Sera, juga menyampaikan dukungan penuh BKSAP untuk proses akses Indonesia ke OECD.

MEMBACA  Bawaslu Menyatakan Tidak Ada Kecurangan dalam Pemilu, Hanya Pelanggaran

Namun, di balik potensi besar keanggotaan OECD penuh, ada tantangan serius yang perlu dipertimbangkan. Bergabung dengan OECD bukan hanya tentang mendapatkan keanggotaan: ini juga berarti melaksanakan reformasi besar di berbagai sektor.

Salah satu tantangan utama adalah bahwa regulasi dan kebijakan ekonomi Indonesia masih banyak mengandung distorsi. Banyak kebijakan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip OECD, terutama yang menyangkut persaingan bisnis, perpajakan, dan ketenagakerjaan.

Sebagai contoh, berdasarkan laporan OECD mengenai regulasi pasar tenaga kerja, Indonesia masih menghadapi hambatan struktural dalam menciptakan fleksibilitas tenaga kerja yang optimal, terutama dalam hal sistem pengupahan dan perlindungan tenaga kerja, yang sering menghambat pertumbuhan sektor formal.

Di samping itu, menjadi anggota OECD berdampak besar dalam hal transparansi fiskal dan reformasi perpajakan.

Indonesia akan diminta untuk menyesuaikan diri dengan standar OECD dalam sistem perpajakan global, termasuk kebijakan pajak minimum global yang saat ini sedang diterapkan di berbagai negara.

Reformasi ini bisa menjadi tantangan bagi Indonesia, yang masih menghadapi tingkat kepatuhan pajak yang rendah dan ketergantungan tinggi pada pajak tidak langsung seperti pajak pertambahan nilai (PPN) dan cukai.

Tanpa persiapan yang tepat, tekanan untuk meningkatkan standar pajak bisa mengakibatkan beban tambahan bagi usaha kecil dan menengah, yang merupakan tulang punggung ekonomi negara.

Selain dampak ekonomi, aspek sosial dan politik juga harus dipertimbangkan. Reformasi yang diperlukan untuk memenuhi standar OECD tidak hanya akan berdampak pada sisi bisnis tetapi juga pada masyarakat.

Salah satu risiko yang perlu diantisipasi adalah dampak kebijakan liberalisasi yang dapat memperlebar disparitas sosial.

Studi OECD menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, reformasi ekonomi yang agresif tanpa mitigasi sosial dapat memperburuk kesenjangan pendapatan dan akses kelompok rentan terhadap layanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan.

Jika Indonesia ingin mengadopsi kebijakan gaya OECD, harus memastikan bahwa langkah-langkah perlindungan sosial tetap menjadi prioritas utamanya.

Pelajaran penting

Tidak semua negara yang bergabung dengan OECD langsung mendapatkan manfaat ekonomi yang signifikan. Beberapa negara, seperti Meksiko dan Cile, mengalami kesulitan dalam proses adaptasi setelah akses.

MEMBACA  Seorang Tersangka Sengketa Tanah Dago Elos Meninggal Dunia

Meskipun mengikuti standar OECD, Meksiko masih berjuang dengan tantangan struktural seperti korupsi, ketimpangan sosial, dan lemahnya lembaga hukum.

Ini adalah pelajaran penting bagi Indonesia untuk diingat: keanggotaan OECD bukanlah solusi instan bagi masalah ekonomi, tetapi merupakan perjalanan panjang yang membutuhkan konsistensi dalam implementasi kebijakan.

Dari perspektif geopolitik, akses Indonesia ke OECD juga berpotensi menimbulkan dinamika baru dalam hubungan internasional.

Indonesia selama ini memainkan peran sebagai kekuatan ekonomi yang relatif independen dan tidak condong ke blok Barat atau Timur.

Bergabung dengan OECD, yang anggotanya sebagian besar berasal dari negara maju di Eropa dan Amerika Utara, bisa dianggap sebagai langkah Indonesia untuk mendekatkan diri ke Barat.

Hal ini dapat berdampak pada hubungan perdagangan dengan Tiongkok, yang saat ini merupakan mitra perdagangan terbesar negara ini. Jika tidak dikelola dengan baik, ketegangan bisa muncul dalam kebijakan perdagangan Indonesia dengan beberapa negara mitra.

Indonesia perlu belajar dari negara lain yang berhasil menavigasi akses ke OECD dengan strategi matang. Korea Selatan, misalnya, tidak hanya mengadopsi standar OECD tetapi juga memastikan bahwa reformasi yang dilakukan sejalan dengan situasi domestiknya.

Negara itu berhasil mempertahankan kebijakan industri strategisnya serta meningkatkan keterbukaan ekonominya.

Indonesia harus mengadopsi pendekatan serupa, di mana reformasi yang dilakukannya tetap mempertimbangkan kepentingan nasional dan tidak hanya mengikuti standar OECD secara buta.

Pada akhirnya, ada potensi besar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kredibilitas investasi, dan memperkuat diplomasi ekonomi Indonesia melalui akses ke OECD.

Namun, ada juga risiko. Reformasi harus dipersiapkan secara matang agar tidak memicu efek samping yang dapat memperburuk ketimpangan sosial atau melemahkan daya saing sektor-sektor tertentu.

Indonesia harus memastikan bahwa aksesnya bukan hanya pencapaian diplomatis belaka, tetapi benar-benar langkah strategis untuk meningkatkan ekonomi nasional dan menjadikannya lebih maju dan berkelanjutan.

Berita terkait: Indonesia akan mengejar keanggotaan OECD setelah resmi bergabung dengan BRICS

Berita terkait: Prabowo menegaskan komitmen Indonesia untuk bergabung dengan OECD

Editor: Rahmad Nasution
Hak Cipta © ANTARA 2025