Strategi Pemimpin Muda Peduli Iklim Menentang Kebijakan Pariwisata Merusak

Minggu, 26 Oktober 2025 – 16:16 WIB

Jakarta, VIVA – Yayasan Partisipasi Muda (YPM) bersama mahasiswa Prodi Ilmu Sosiologi Universitas Mataram mengadakan diskusi Academia Politica dengan tema “Wisata Toxic vs Wisata Berkelanjutan: Alam Rusak, Turis Pergi, Anak Muda Rugi?”.

Baca Juga :


Inovasi Lapas Palembang, Ubah Sampah Jadi Sumber Daya Berharga

Dalam diskusi itu, mahasiswa diajak untuk memahami hubungan antara politik, pariwisata, dan kelestarian lingkungan.

Co-Founder dan Direktur Eksekutif YPM, Neildeva Despendya, berpendapat bahwa politik seharusnya dipakai untuk memperjuangkan kebaikan masyarakat, bukan cuma soal kekuasaan.

Baca Juga :


Polda Riau Tangkap Gordon, Pemilik Lahan Ilegal di Kawasan Hutan Konservasi Bengkalis

Dia menyoroti berbagai keputusan politik yang malah merugikan lingkungan, seperti pemberian izin tambang, penggundulan hutan, subsidi energi fosil, sampai kebijakan iklim yg belum mendukung keberlanjutan. Termasuk praktik “wisata toxic” yang bisa mempercepat kerusakan alam kalau tidak didukung kemauan politik yang kuat.

“Anak muda punya peran penting untuk mendorong perubahan politik yang pro lingkungan. Mereka bisa berkontribusi lewat advokasi, dialog kebijakan, atau aksi kecil di media sosial seperti membagikan kampanye lingkungan dan mengkritisi kebijakan publik. Masa depan generasi muda sangat tergantung dari keputusan politik hari ini,” ujar Neildeva dalam paparannya di Gedung A FHISIP Universitas Mataram, seperti dikutip Minggu, 26 Oktober 2025.

Baca Juga :


Momen Bahlil Pamerkan Sepatu UMKM Seharga Rp250 Ribu, Bantah Punya Golkar

Neildeva mengingatkan, cara pandang kapitalistik sering bikin masyarakat lupa pada nilai kebersamaan dan kesadaran lingkungan. Karena itu, dia mengajak anak muda NTB untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan iklim dan politik publik lewat kampanye di sosmed dengan tagar #PartisipasiUntukBumi.

Sementara itu, peneliti dari lembaga riset SORCE, Raja Aditya Sahala, membahas dampak perubahan iklim terhadap terumbu karang dan pariwisata. Dia bilang Indonesia punya keanekaragaman terumbu karang tertinggi di dunia, tapi sekitar 36 persennya sudah rusak, termasuk di pesisir Bangko-Bangko, Lombok Barat.

MEMBACA  Ratusan Pembalap Siap Beradu Kecepatan di Drag Fest 2025 Tasikmalaya

“Kerusakan ini disebabkan oleh naiknya suhu laut, penggundulan hutan mangrove, dan pemakaian energi batu bara yg masih mendominasi,” kata Raja.

Menurut dia, terumbu karang tidak cuma penting untuk ekosistem laut, tapi juga menopang ekonomi pesisir dan pariwisata. Dia menekankan pentingnya konservasi berbasis komunitas lewat edukasi, restorasi, dan aksi bersih pantai.

“Menjaga terumbu karang artinya menjaga masa depan laut dan kehidupan masyarakat pesisir,” tegasnya.

Halaman Selanjutnya

Selanjutnya, perwakilan Badan Pemuda Adat Nusantara NTB, Lalu Kesuma Jayadi, menyoroti peran masyarakat adat dalam menjaga lingkungan. Dia menjelaskan, masyarakat adat Sasak punya kearifan ekologis yang tinggi, seperti aturan adat dalam menebang pohon dan tradisi Rebo Bontong yang memberi waktu laut untuk “istirahat”.