Pemerintah Indonesia berencana mengalihkan impor BBM dari negara-negara eksportir seperti Singapura menjadi dari Amerika Serikat (AS). Total nilai rencana peningkatan impor energi dari AS mencapai hingga US$10 miliar yang mencakup pembelian minyak mentah, BBM, dan gas petroleum cair alias LPG. Meski bertujuan mengatasi masalah defisit neraca perdagangan AS terhadap Indonesia, langkah tersebut tidaklah tanpa risiko.
Menurut Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, impor minyak mentah dari AS belum tentu sesuai dengan kilang minyak Pertamina untuk menghasilkan BBM. Hal ini karena AS belum tentu mampu menyediakan impor Pertalite yang harus blending, karena tidak dijual di AS. Selain itu, harga impor minyak mentah seharusnya lebih mahal dibandingkan dengan harga minyak di Singapura karena biaya logistiknya lebih tinggi.
Fahmy juga menekankan bahwa mafia migas yang selama ini memburu rente impor BBM dari Singapura akan melakukan berbagai upaya untuk menghalangi rencana pengalihan impor BBM tersebut. Menteri Bahlil harus memastikan bahwa spesifikasi minyak mentah itu harus sesuai dengan kilang Pertamina dan bisa melakukan blending untuk menghasilkan Pertalite. Harga impor BBM dari AS minimal harus sama dengan harga impor dari Singapura. Pemerintah juga harus berkomitmen dan bertekad untuk memberantas mafia migas yang akan menghalangi pengalihan impor BBM dari Singapura ke AS.
Menurut Fahmy, kebijakan alihkan impor minyak harus mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Tanpa berbagai upaya tersebut, kebijakan tersebut tidak hanya akan mengatasi defisit neraca perdagangan AS, tetapi juga akan menimbulkan masalah baru.
Source : VIVA/M Ali Wafa