Puasa harus benar-benar menjaga kualitas lahir maupun batin agar benar-benar dapat bersanding dengan al-Haqq. Seperti nasihat seorang ulama yang dikutip Imam al-Ghazali, “Selama hamba masih terkotori oleh selain Allah, ia tak pantas mendekat dan bersanding dengan-Nya sebelum menyucikan hati dari selain Dia.” Imam al-Ghazali dalam bukunya berjudul “Raudhatut Thalibin wa ‘Umadatus Salikin” mengatakan Allah taala tidak akan menganggap bau mulut orang berpuasa, bahkan akan menggantikannya dengan aroma misik. Bagi Allah, yang terpenting adalah kualitas kebersihan laku dan jiwa seseorang tatkala menjalankan puasa.
Kotornya tubuh dapat dibersihkan dan disucikan dengan air, tetapi kekotoran hati karena dominasi perbuatan tercela harus disucikan dengan air qurbah (kedekatan) dan inabah (pertobatan). Selain itu, untuk menjangkau kedekatan dengan Allah tidak serta merta hanya menahan lapar dan dahaga. Al-Ghazali menegaskan untuk memastikan kehalalan makanan yang kita konsumsi. Seperti disinggungnya ketika membincangkan makna kata ath-Thayyibat (QS Al-Baqarah [2]: 172) yang berarti halal dan baik.
Artinya, makanan yang baik menjadi fondasi utama bagi perjalanan suatu golongan. Jika pun ada seorang hamba mendirikan sholat laksana sholatnya budak, dalam arti begitu khusyuk dan masyuk, hal itu tak akan berguna selama dia tidak mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya. Dia juga menyatakan bahwa manusia yang paling cepat menyeberangi titian akhirat adalah yang paling wira’i terhadap urusan duniawi. Dan wira’i dengan menahan lapar bisa menjadi kunci perjumpaan dengan Allah SWT. sebagaimana firman-Nya dalam hadis qudsi, “Hai hamba-Ku, laparkanlah dirimu niscaya kau melihat-Ku, bersikap wara-lah pasti kau mengenal-Ku, dan telanjanglah (dari dunia) niscaya kau akan sampai kepada-Ku.”
Maka dari itu, Al-Ghazali juga menyarankan dalam kitab Minhaj al-‘Arifin untuk menekan hawa nafsu, termasuk nafsu untuk memperoleh imbalan, sebagaimana nasihatnya: “Jika engkau berpuasa, berniatlah untuk mengekang nafsu dari berbagai keinginan. Karena puasa berarti musnahnya kehendak nafsu. Ia mengandung kejernihan hati, menguruskan badan, dan mengingatkan kita untuk berbuat baik kepada kaum fakir. Itu semua tak lain agar kita kembali kepada Allah SWT. Bersyukur atas berbagai nikmat yang Dia anugerahkan, dan meringankan hisab. Maka, anugerah Allah berupa taufik yang menjadikanmu mampu berpuasa itu lebih besar dibanding mensyukuri nikmat dan puasamu yang menuntut balasandari-Nya.”