Rabu, 1 Oktober 2025 – 04:30 WIB
Sidoarjo – Duka yang dalam sedang menyelimuti Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo. Sebuah bangunan musala bertingkat tiga roboh pada hari Senin, 29 September 2025, ketika ratusan santri sedang melakukan salat Asar berjemaah.
Peristiwa ini dilaporkan menelan korban lebih dari 100 orang. Puluhan orang masih menjalani perawatan, dan tiga di antaranya telah meninggal dunia.
Tragedi ini tidak hanya meninggalkan luka yang mendalam bagi keluarga besar pesantren, para santri, dan wali santri, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat luas, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan komunitas pesantren. Hal ini wajar terjadi karena Ponpes Al Khoziny merupakan salah satu pesantren tertua di Jawa Timur yang usianya sudah lebih dari satu abad dan telah melahirkan banyak ulama besar di Nusantara.
Sejarah Berdirinya Ponpes Al Khoziny
Mengutip dari NU Online Jatim, Ponpes Al Khoziny didirikan sekitar tahun 1926–1927. Namun, ada juga informasi dari pengasuh pesantren saat ini, KHR Abdus Salam Mujib, yang menyatakan bahwa Al Khoziny sudah ada sejak tahun 1920.
Pesantren ini didirikan oleh KH Khozin Khouruddin, yang lebih dikenal dengan panggilan Kiai Khozin Sepuh. Beliau adalah menantu dari KH Ya’qub, yang merupakan pengasuh Pesantren Siwalanpanji. Hubungan kekerabatan ini membuat Al Khoziny masih terhubung dengan salah satu pesantren tertua di Jawa Timur yang juga telah melahirkan banyak ulama besar.
Menurut cerita beberapa alumni, Kiai Khozin mendirikan pesantren ini untuk putranya, KH Moh Abbas, setelah kembali dari menuntut ilmu di Makkah. Awalnya, pesantren ini hanya berupa sebuah rumah. Namun, lambat laun banyak santri yang datang untuk belajar mengaji, sehingga akhirnya berkembang menjadi sebuah pondok pesantren.
Kiai-Kiai Besar dan Keterkaitan dengan NU
Nama Al Khoziny sering juga disebut sebagai "Pondok Buduran" karena letaknya yang berada di Desa Buduran. Ini mengikuti kebiasaan masyarakat yang sering menyebut pesantren berdasarkan nama desanya, seperti Tebuireng atau Tambak Beras.
Pesantren ini juga memiliki hubungan yang erat dengan para pendiri Nahdlatul Ulama. Wasid Mansur, penulis buku Biografi KH Abdul Mujib Abbas, menceritakan bahwa Kiai Khozin memiliki hubungan keluarga dengan KH Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri NU. Mereka berdua adalah ipar dan sama-sama pernah menuntut ilmu di Pesantren Siwalanpanji, yang pada waktu itu diasuh oleh mertua Kiai Khozin.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Al Khoziny kemudian menjadi salah satu pusat penting dalam jaringan keilmuan pesantren di Jawa Timur. Lokasinya juga sangat dekat dengan Pesantren Siwalanpanji, hanya berjarak sekitar satu kilometer. Sampai saat ini, Al Khoziny tetap menjadi tempat yang penting untuk mencetak generasi yang berilmu dan berkarakter.
Warisan Satu Abad
Selama lebih dari 100 tahun, Ponpes Al Khoziny terus berkontribusi dalam mencetak ulama, cendekiawan, dan tokoh-tokoh agama. Keberadaannya tidak hanya sebagai pusat pendidikan, tetapi juga merupakan bagian penting dari sejarah perkembangan pesantren di Jawa Timur.
Tragedi robohnya musala pada tanggal 29 September 2025 merupakan pukulan yang berat bagi seluruh keluarga besar Al Khoziny. Meskipun demikian, sejarah panjang dan kontribusinya yang besar bagi pendidikan Islam di Nusantara tetap menjadi warisan yang sangat berharga yang akan terus dikenang dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya.