Jakarta (ANTARA) – Perubahan iklim merupakan hambatan ganda dalam pemenuhan hak-hak anak, sehingga diperlukan tindakan nyata dan kolaborasi untuk mengurangi dampaknya, menurut Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
“Anak-anak lah yang akan menanggung beban ketika mereka tumbuh dewasa di tengah krisis iklim dan berbagai isu dalam pemenuhan hak-hak anak,” kata Woro Srihastuti, Deputi Peningkatan Mutu Anak, Perempuan, dan Pemuda kementerian tersebut, pada hari Sabtu.
Laporan UNICEF tahun 2021 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-46 dari 163 negara dalam Indeks Perubahan Iklim Anak telah lebih memperkuat kekhawatiran kementerian. Peringkat tersebut berarti anak-anak di Indonesia berisiko tinggi mengalami dampak perubahan iklim.
Selain perubahan iklim, Indonesia sangat rentan terhadap bencana yang dipicu oleh iklim atau hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan, dan puting beliung.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 99,35 persen dari 5.400 bencana yang tercatat di Indonesia pada tahun 2023 adalah bencana hidrometeorologi.
Kerentanan ini diperparah dengan munculnya masalah kesehatan, infeksi saluran pernapasan akut, diare, dan demam berdarah, tegas Srihastuti.
Ada juga masalah dalam mengakses pendidikan setelah terjadi bencana dan bahkan masalah ekonomi seperti kemiskinan dan ketidakamanan pangan.
“Mengingat kompleksitas perubahan iklim yang berdampak pada anak-anak, kita harus mendorong pihak-pihak, termasuk anak-anak dan pemuda, untuk berpartisipasi dalam melaksanakan tindakan nyata,” kata dia.
Beliau menekankan pentingnya menyediakan ruang bermain yang aman, inklusif, dan menyenangkan bagi anak-anak untuk berperan aktif dalam mengkritik dan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Berita terkait: Menteri meminta daerah mendukung aksi iklim di tingkat grassroot
Berita terkait: Jokowi memuji kepedulian masyarakat dalam menangani dampak lingkungan
Penerjemah: Hana K, Kenzu
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2024