Jakarta (ANTARA) – Pertumbuhan sektor manufaktur non-migas sebesar 5,6% secara tahunan pada kuartal kedua 2025 sebenarnya bisa jauh lebih tinggi, menurut Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Juru bicara kementerian, Febri Hendri Antoni Arif, mengatakan di Jakarta pada Rabu bahwa pertumbuhan ini menunjukkan ketahanan sektor manufaktur menghadapi tekanan global dan perannya penting sebagai penggerak ekonomi nasional.
“Meski kebijakan belum sepenuhnya mendukung manufaktur, kami berhasil mencapai pertumbuhan 5,6%,” ujarnya.
“Dengan kebijakan pro-industri, pertumbuhan bisa jauh lebih tinggi. Kebijakan ini harus mendukung dan melindungi industri dalam negeri untuk meningkatkan kinerja manufaktur secara berkelanjutan,” tambahnya.
Menanggapi kekhawatiran ekonom bahwa data pertumbuhan industri Q2 dari BPS tidak sesuai dengan Indeks Pembelian Manufaktur (PMI) S&P Global, dia menjelaskan bahwa kinerja kuat sektor industri didukung oleh indikator yang dapat diandalkan.
Indikator ini mencakup Indeks Keyakinan Industri (IKI), PMI BI dari Bank Indonesia, serta capaian investasi dan ekspor di sektor industri.
Laporan IKI Juli 2025 menunjukkan keyakinan industri mencapai 52,89 poin, naik dari 51,84 di bulan sebelumnya.
“Tren ini menunjukan optimisme dan ketahanan pelaku industri dalam negeri meski ada tekanan ekonomi global dan perlambatan di negara mitra dagang utama seperti AS, Eropa, Jepang, dan China,” katanya.
Pertumbuhan sektor manufaktur juga terlihat dalam kegiatan riil.
Pada semester pertama 2025, sebanyak 1.641 perusahaan melaporkan pembangunan fasilitas produksi baru melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), dengan total investasi mencapai Rp803,2 triliun.
Ekspansi industri ini langsung menciptakan sekitar 303 ribu lapangan kerja—jauh lebih tinggi dibandingkan angka PHK yang dilaporkan kementerian lain dan asosiasi bisnis.
Arif menekankan komitmen kemenperin untuk menjaga momentum pertumbuhan manufaktur sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja berkualitas.
Dia optimis pertumbuhan manufaktur dan kontribusinya bagi ekonomi nasional bisa meningkat dengan penerapan kebijakan pro-industri.
Kebijakan strategis tersebut meliputi pengendalian impor barang jadi, pengalihan masuknya ke pelabuhan Indonesia timur, memastikan kemudahan pasokan bahan baku—khususnya gas untuk industri tertentu, dan mengurangi kuota produk kawasan berikat untuk pasar dalam negeri.
Arif menegaskan bahwa kemenperin tidak menggunakan PMI S&P Global sebagai dasar penyusunan kebijakan.
“Kami menghargai survei PMI sebagai referensi umum, tapi untuk pembuatan kebijakan, kami mengandalkan IKI dan PMI BI. Sampel IKI mencakup rata-rata 3.100 perusahaan industri per bulan, sementara survei PMI S&P Global biasanya kurang dari 500 perusahaan,” jelasnya.
Dia mengatakan kinerja manufaktur bisa diukur lebih akurat menggunakan IKI dan PMI BI dibanding indikator lain.
IKI memungkinkan pelacakan rinci setiap subsektor manufaktur non-migas karena disusun oleh pakar statistik dari IPB dan divalidasi ekonom Universitas Indonesia.
IKI didasarkan pada survei langsung pelaku industri di 23 subsektor manufaktur, mencakup produksi, permintaan ekspor dan domestik, utilisasi kapasitas, tenaga kerja, dan ekspektasi bisnis ke depan.
*Penerjemah: Primayanti
Editor: Rahmad Nasution
Hak Cipta © ANTARA 2025*