Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengkritisi kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberikan ruang kepada ormas untuk mengelola tambang. Muhammadiyah akan ekstra hati-hati dalam menyikapi tawaran konsesi tambang itu.
Menurut Busyro, permasalahan ini perlu dilihat dari sudut pandang yang utuh, tidak hanya dari sudut pandnag kebijakan ini. Apakah kebijakan ini harus dikaitkan ketika membahas RUU Omnibus Law menjadi UU Cipta Kerja.
Saat itu, PP Muhammadiyah sudah mengkaji secara mendalam dengan pendekatan akademis. Sikap ini juga sudah diberikan secara resmi kepada Presiden secara tertulis di Istana Negara yang intinya menolak dengan sejumlah catatan.
“Inti Undang-undang ini tidak mencerminkan proses demokratisasi di sektor-sektor yang terkait dengan tambang, lahan dalam arti luas,” ujar Busyro usai mengisi pengajian di PDM Kulonprogo, Rabu (5/6/2024).
Busyro mengatakan UU Ciptaker bermasalah dari segi kualitas demokrasi, moral demokrasi ataupun penghargaan demokrasi. Dalam proses tambang juga ditengarai juga tidak mengedepankan proses demokrasi.
Praktik pertambangan yang ditangani akan berdampak luas terhadap warga sipil. Mereka menjadi korban, tewas, hingga digusur dan kehilangan lapangan kerja.
“Ratusan kepala keluarga, ada yang kehilangan lapangan kerja gara-gara Proyek Strategis Negara yang tidak lepas politik pertambangan,” papar pria yang pernah menjadi pimpinan KPK ini.
Busyro melihat atas nama komitmen kepada bangsa dan rakyat yang berdaulat, logika moral demokratis dan moral politik, kebijakan itu tidak diterima ormas apa pun itu. PP Muhammadiyah sampai saat ini belum menggelar rapat terkait polemik ini.
“Baru pada tahap mendapatkan masukan-masukan, termasuk dari Majelis Hukum dan HAM dan LBH PP Muhammadiyah. Masukan ini sudah disampaikan yang intinya PP Muhammadiyah ekstra hati-hati dalam menyikapi tawaran ini,” pungkas dia.