Jakarta (ANTARA) – Indonesia semakin gencar berupaya meningkatkan pengelolaan sampah nasional, salah satunya dengan mengembangkan infrastruktur waste-to-energy (WtE) atau mengubah sampah menjadi energi.
Penggunaan teknologi WtE modern diharapkan dapat membantu mengatasi krisis sampah di wilayah besar dan metropolitan seperti Jakarta, yang menghasilkan sekitar 8.000 ton sampah setiap harinya.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), Indonesia menghasilkan 34,6 juta ton sampah pada tahun 2024, berdasarkan laporan dari 319 kabupaten dan kota. Dari jumlah tersebut, 20,7 juta ton sampah masih belum terkelola.
Dalam rapat kabinet Agustus lalu, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan para menterinya untuk menyelesaikan program waste-to-energy dalam waktu 18 bulan sebagai bagian dari upaya memperkuat sistem pengelolaan sampah di Indonesia.
Awalnya, desain proyek ini melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk bupati, gubernur, kementerian, DPRD, dan perusahaan listrik negara PLN.
Namun, untuk mempercepat penyelesaian, mekanismenya disederhanakan: lembaga pengelola investasi nasional Danantara Indonesia akan berkoordinasi langsung dengan PLN, sementara izin proyek akan diterbitkan oleh Kementerian ESDM.
Pemerintah telah menetapkan 10 wilayah sebagai prioritas utama dalam fase pengembangan fasilitas WtE, berdasarkan proses asesmen dan verifikasi komprehensif oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Kriteria penilaiannya mencakup wilayah yang menghasilkan lebih dari 1.000 ton sampah per hari, memiliki lahan yang tersedia untuk pengembangan WtE, serta menunjukkan komitmen jelas dari pemerintah daerah untuk mengelola transportasi sampah, menurut Menko Pangan dan Ketua Tim Percepatan Pangan, Energi, dan Air Zulkifli Hasan.
Kesepuluh wilayah tersebut adalah DKI Jakarta (dengan empat lokasi), Bali, Yogyakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Bogor Raya, Tangerang, Semarang, Medan, dan Jawa Barat—yang mencakup Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut.
Hasan menambahkan, 14 wilayah lainnya sedang dalam tinjauan, di antaranya Serang, Sulawesi Selatan, Depok, Pekanbaru, Lampung, Malang, Padang, Samarinda, Balikpapan, Pontianak, Banjarmasin, Jambi, Kota Makassar, dan Kota Tangerang Selatan.
Kementerian Lingkungan Hidup menekankan bahwa pemerintah daerah harus menyerahkan deklarasi kesiapan secara resmi kepada menteri, disertai beberapa persyaratan kunci.
Persyaratan itu termasuk menyediakan lahan minimal 5 hektar yang sesuai dengan peraturan tata ruang, bebas banjir, jauh dari bandara, serta memiliki akses jalan dan infrastruktur air yang memadai.
Untuk menjaga efisiensi logistik, fasilitas WtE harus berada dalam jarak 50 kilometer dari sumber sampah.
Dukungan Pendanaan Besar
Dalam dorongan finansial besar untuk inisiatif ini, dana kekayaan negara Danantara mengumumkan bahwa "obligasi patriot" senilai Rp50 triliun (sekitar US$3,2 miliar) telah sepenuhnya diambil alih melalui skema penempatan privat.
CEO Danantara Rosan Roeslani menyatakan bahwa dana tersebut akan mendukung proyek energi baru dan terbarukan serta proyek WtE di 33 lokasi di seluruh Indonesia.
Danantara memperkirakan, mengkonversi 1.000 ton sampah membutuhkan investasi sebesar Rp2 triliun hingga Rp3 triliun atau US$127 juta hingga US$190 juta.
Dengan setiap pabrik menghasilkan hingga 15 megawatt listrik—cukup untuk memasok sekitar 20.000 rumah tangga—program WtE diperkirakan dapat mengurangi 80 persen gas rumah kaca nasional dan menghemat 90 persen penggunaan lahan.
Danantara berencana meluncurkan proyek WtE pada akhir Oktober, yang melibatkan pengembangan delapan dari total 33 pabrik pengolahan sampah di seluruh Indonesia.
Lembaga ini akan memilih teknologi dan mitra yang paling tepat untuk memastikan hasil optimal, dengan tujuan bukan hanya keuntungan tetapi juga pemeriksaan lingkungan dan mengurangi krisis sampah, menurut Direktur Utama Investasi Danantara Stefanus Ade Hadiwidjaja.
Dia menambahkan bahwa proyek ini dapat menciptakan lapangan kerja dan memicu efek pengganda bagi perekonomian lokal.
Pembangunan setiap fasilitas diperkirakan memakan waktu 18 hingga 24 bulan. Masyarakat akan dipekerjakan untuk mengoperasikan dan mengelola pabrik, menciptakan efek pengganda beberapa kali lipat, jelasnya.
Listrik yang dihasilkan dari pabrik pengolahan sampah akan dibeli oleh PLN, tambahnya.
Sementara itu, Kementerian ESDM sedang menyiapkan regulasi, termasuk harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik WtE.
Regulasi ini akan mencakup harga listrik dari proses insinerasi dan gasifikasi, bioenergi yang terdiri dari biomassa dan biogas, serta bahan bakar pengganti dari pirolisis.
Calon Mitra Potensial
Chief Investment Officer (CIO) Danantara Pandu Sjahrir mencatat bahwa bisnis waste-to-energy dapat menghasilkan pengembalian investasi dalam waktu lima hingga enam tahun.
Dia mengklaim bahwa investor dari Singapura, Korea Selatan, Jepang, China, dan negara-negara Eropa telah mulai menunjukkan ketertarikan pada sektor yang menjanjikan ini.
Sjahrir menyatakan Indonesia tidak hanya menyambut investasi tetapi juga pengembangan teknologi untuk mengatasi masalah sampah.
Dia berharap investor yang berpengalaman dalam mengelola sampah perkotaan dapat membarkan keahlian mereka ke Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengapresiasi keputusan Danantara untuk berinvestasi dalam proyek WtE yang berkontribusi menangani masalah sampah.
Dia mengakui bahwa seluruh proses mengubah sampah menjadi energi memang membutuhkan biaya yang signifikan.
Fabby menyebutkan dua aspek yang menghambat penanganan sampah: keterbatasan lahan tempat pembuangan akhir (TPA) dan dampak negatif bagi kesehatan.
Oleh karena itu, inovasi mengubah sampah menjadi sumber energi dianggap sebagai keputusan yang tepat dan memiliki dampak positif.
Fabby menjelaskan bahwa rencana kebijakan pemerintah saat ini, yang melibatkan Danantara Indonesia untuk mendorong pendanaan waste-to-energy, dapat membuat pemantauan pelaksanaan program lebih sistematis dan akuntabel.
Sementara itu, prospek penerapan pengolahan sampah menjadi sumber energi di kota-kota Indonesia juga cukup menjanjikan, ujarnya.
Fungsi koordinasi Danantara dipercaya dapat menyatukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sektor swasta untuk memastikan pelaksanaan program berjalan sistematis, transparan, dan berkelanjutan, tambahnya.
Peran ini dianggap krusial untuk memastikan proyek waste-to-energy tidak terhambat oleh kendala pendanaan, pasokan sampah, atau risiko pencemaran.
Jika koordinasi ini berjalan konsisten, program ini dipercaya dapat membantu Indonesia mengatasi krisis sampah sekaligus mendukung transisi energi menuju Net Zero Emissions pada 2060.
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025