Metode yang ditempuh al-Asyari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. Ilustrasi: Ist SESUNGGUHNYA letak keunggulan sistem Asy’ari atas lainnya ialah segi metodologinya, yang dapat diringkaskan sebagai jalan tengah antara berbagai ekstremitas. Maka ketika menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia tidaklah menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sich, melainkan sekadar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itu pun hanya dalam urutan sekunder. “Sebab bagi al-Asy’ari, sebagai seorang pendukung Ahl al-Hadits, yang primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari Kitab maupun yang dari Sunnah, menurut makna harfiah atau literernya,” tulis Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam bukunya berjudul “Islam Doktrin dan Peradaban” (Yayasan Paramadina). Oleh karena itu, kalaupun ia melakukan takwil, ia lakukan hanya secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah. “Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hanbali dan metode takwili kaum Muktazili ,” jelas Cak Nur. Di tengah-tengah berkecamuknya polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh al-Asy’ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. Itulah alasan utama penerimaan paham Asy’ari hampir secara universal, dan itu pula yang membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang. Meskipun begitu, inti pokok paham Asy’ari ialah Sunnisme. Hal ini ia kemukakan sendiri dalam bukunya yang sangat bagus dan sistematis, yaitu Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin (“Pendapat-pendapat Kaum Islam dan Perselisihan Kaum Bersembahyang”), sebuah buku heresiografi (catatan tentang berbagai penyimpangan atau bid’ah) dalam Islam yang sangat dihargai karena kejujuran dan obyektifitas dan kelengkapannya. Dalam meneguhkan pahamnya sendiri, terlebih dahulu al-Asy’ari menuturkan paham Ahl al-Hadits seperti yang ada pada kaum Hanbali , kemudian mengakhirinya dengan penegasan bahwa ia mendukung paham itu dan menganutnya. Untuk memperoleh gambaran yang cukup lengkap tentang hal yang amat penting ini, di sini dikutip beberapa persoalan mendasar dari keterangan al-Asy’ari yang dimaksud: Keseluruhan yang dianut para pendukung Hadis dan Sunnah ialah: mengakui adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, dan semua yang datang dari sisi Allah dan yang dituturkan oleh para tokoh terpercaya berasal dari Rasulullah SAW, tanpa mereka menolak sedikit pun juga dari itu semua. Dan Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa, Unik (tanpa bandingan), tempat bergantung semua makhluk, tiada Tuhan selain Dia, tidak mengambil isteri, tidak juga anak; dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; dan bahwa surga itu nyata, neraka itu nyata, dan hari kiamat pasti datang tanpa diragukan lagi, dan bahwa Allah membangkitkan orang yang ada dalam kubur. Dan bahwa Allah ada di atas ‘Arasy (Singgasana), sebagaimana difirmankan ( QS 20 :5), “Dia Yang Maha Kasih, bertahta di atas Singgasana”; dan bahwa Dia mempunyai dua tangan tanpa bagaimana (bi la kayfa) sebagaimana difirmankan ( QS 37 :75), “Aku menciptakan dengan kedua tangan-Ku”, dan juga firmanNya ( QS 5 :64), “Bahkan kedua tangan-Nya itu terbuka lebar”; dan Dia itu mempunyai dua mata tanpa bagaimana, sebagaimana difirmankan ( QS 54 :14), “Ia (kapal) itu berjalan dengan mata Kami”; dan Dia itu mempunyai wajah, sebagaimana difirmankan ( QS 55 :27), “Dan tetap kekallah Wajah Tuhanmu Yang Maha Agung dan Maha Mulia.” Dan nama-nama Allah itu tidak dapat dikatakan sebagai lain dari Allah sendiri seperti dikatakan oleh kaum Muktazilah dan Khawarij . Mereka (Ahl al-Sunnah) juga mengakui bahwa pada Allah –subhanahu– ada pengetahuan (‘ilm), sebagaimana difirmankan (Q., 4:166), “Diturunkan-Nya ia (al-Qur’an) dengan pengetahuanNya”, dan juga firman-Nya (QS 35:11), “Dan tidaklah ia (wanita) mengandung (bayi) perempuan, juga tidak melahirkannya, kecuali dengan pengetahuan-Nya.”… Mereka (Ahl al-Sunnah) juga berpendapat bahwa tidak ada kebaikan atau keburukan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah, dan segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, sebagaimana difirmankan oleh Dia Yang Maha Tinggi dan Maha Agung ( QS 81 :29), “Dan kamu (manusia) tidaklah (mampu) menghendaki sesuatu jika tidak Allah menghendakinya”, dan sebagaimana diucapkan oleh orang-orang Muslim, “Apa pun yang dikehendaki Allah akan terjadi, dan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.” Mereka juga berpendapat bahwa tidak seorang pun mampu melakukan sesuatu sebelum Dia (Allah) melakukannya, juga tidak seorang pun mampu keluar dari pengetahuan Allah, atau melakukan sesuatu yang Allah mengetahui bahwa ia tidak melakukannya. Mereka mengakui bahwa tidak ada Pencipta selain Allah, dan bahwa keburukan para hamba (manusia) diciptakan oleh Allah, dan bahwa semua perilaku manusia diciptakan Allah ‘azza wa jalla, dan bahwa manusia itu tidak berdaya menceritakan sedikit pun dari padanya. Dan bahwa Allah memberi petunjuk kepada kaum beriman untuk taat kepada-Nya, serta menghinakan kaum kafir. Allah mengasihi kaum beriman, memperhatikan mereka, membuat mereka orang-orang saleh, membimbing mereka, dan Dia tidak mengasihi kaum kafir, tidak membuat mereka saleh, serta tidak membimbing mereka. Seandainya Allah membuat mereka saleh, tentulah mereka menjadi saleh, dan seandainya Allah membimbing mereka tentulah mereka menjadi berpetunjuk. Dan Allah –subhanahu– berkuasa membuat orang-orang kafir itu saleh, mengasihi mereka sehingga menjadi beriman; tetapi Dia berkehendak untuk tidak membuat mereka saleh dan (tidak) mengasihi mereka sehingga menjadi beriman, melainkan Dia berkehendak bahwa mereka itu kafir adanya seperti Dia ketahui, menghinakan mereka, menyesatkan mereka dan memateri hati mereka. Dan bahwa baik dan buruk dengan keputusan (qadla’) dan ketentuan (qadar) Allah, dan mereka (Ahl al-Sunnah) beriman kepada qadla’ dan qadar Allah itu, yang baik dan yang buruk, serta yang manis dan yang pahit. Mereka juga beriman bahwa mereka tidak memiliki pada diri mereka sendiri (memberi) manfaat atau madarat, kecuali dengan yang dikehendaki Allah, sebagaimana difirmankan-Nya, dan mereka (Ahl al-Sunnah) itu menyerahkan segala perkaranya kepada Allah –subhanahu– dan mengakui adanya kebutuhan kepada Allah dalam setiap waktu serta keperluan kepada-Nya dalam setiap keadaan. (mhy)