Penjualan Senjata Amerika ke Taiwan Picu Ketegangan Militer Regional

Senin, 29 Desember 2025 – 00:03 WIB

Washington, VIVA – Pengiriman senjata dari Amerika Serikat ke Taiwan akan mendorong kawasan lebih dekat ke konflik bersenjata. Itu peringatan dari Kedutaan Besar China di Washington, setelah disetujuinya penjualan senjata senilai miliaran dolar ke pulau itu.

“Langkah seperti ini tidak akan membalikkan kegagalan agenda ‘kemerdekaan Taiwan’, malah akan mendorong Selat Taiwan lebih cepat ke bahaya konflik militer,” kata Juru Bicara Kedubes China di Washington, Liu Pengyu, kepada RIA Novosti.

Pernyataannya itu menanggapi pengumuman Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan Pentagon (DSCA) tentang persetujuan penjualan senjata, peralatan, dan jasa militer ke Taiwan senilai 11,1 miliar dolar AS.

Menurut DSCA, paket senjata itu termasuk sistem rudal anti-tank Javelin, drone ALTIUS-700M dan ALTIUS-600, suku cadang helikopter AH-1W SuperCobra, sistem peluncur roket HIMARS, artileri M107A7, dan sistem rudal anti-tank TOW.

“Bagi AS, mendukung agenda ‘kemerdekaan’ Taiwan lewat pengiriman senjata cuma akan merugikan diri mereka sendiri,” ujar Liu, sambil menegaskan kembali posisi Beijing.

China telah berkali-kali meminta Washington untuk hentikan penjualan senjata ke Taiwan dan jangan ciptakan ketegangan baru di Selat Taiwan.

Kementerian Luar Negeri China menilai interaksi militer antara AS dan Taiwan, termasuk kebijakan penjualan senjata, sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip “satu China” dan tiga perjanjian bersama China-AS.

Menurut Beijing, langkah ini telah merusak kedaulatan dan keamanan nasional China, serta mengancam stabilitas kawasan Selat Taiwan.

Hubungan resmi antara pemerintah China dan Taiwan terputus pada tahun 1949, setelah pasukan Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek kalah dalam perang saudara dan mundur ke Taiwan.

Kontak bisnis dan hubungan tidak resmi antara kedua pihak mulai pulih di akhir tahun 1980-an.

MEMBACA  Desas-desus Perceraian Raisa dan Hamish Daud Ternyata Bocor dari Orang Dalam

Sejak awal 1990-an, Beijing dan Taipei berkomunikasi melalui organisasi non-pemerintah, meski ketegangan politik dan militer tetap jadi isu utama dalam hubungan mereka sampai sekarang. (Ant)

Tinggalkan komentar