Peningkatan penyakit arbovirus menunjukkan perlunya pengembangan vaksin: ahli

Jakarta (ANTARA) – Meningkatnya insiden dan penyebaran penyakit arbovirus ke tempat-tempat baru menunjukkan perlunya pengembangan vaksin baru, kata Indra Rudiansyah, pemimpin proyek program vaksin mRNA dan vektor virus di Bio Farma.

Pada Arbovirus Summit yang disiarkan di saluran YouTube resmi Kementerian Kesehatan pada hari Selasa, dia menginformasikan bahwa strategi utama untuk menangani infeksi virus adalah mengontrol faktor-faktor, seperti penggunaan pestisida dan nyamuk Wolbachia.

“Namun, tidak ada jaminan bahwa strategi alternatif di masa depan benar-benar dapat menghilangkan arbovirus. Oleh karena itu, kita juga perlu melindungi diri dengan membangun kekebalan tubuh,” tambahnya.

Sebagai contoh, di masa lalu, pestisida banyak digunakan untuk mengurangi populasi nyamuk. Namun, saat ini, banyak serangga yang resisten terhadap pestisida. Oleh karena itu, Rudiansyah menganggap vaksin penting untuk penanganan arbovirus.

Dia mengatakan bahwa saat ini ada beberapa vaksin untuk arbovirus, seperti vaksin demam kuning yang dikonsumsi oleh wisatawan atau orang yang tinggal di negara endemis.

“Dan ada vaksin chikungunya yang saat ini baru saja mendapatkan lisensi. Namun, penggunaan vaksin ini masih terbatas, terutama di AS. Dan ada beberapa vaksin untuk ensefalitis Jepang. Tiga dari vaksin ini telah diberikan PQ (prequalification) oleh WHO,” tambahnya.

Dia juga menyarankan Dengvaxia untuk pasien dengue seropositif.

Rudiansyah mengatakan bahwa selain arbovirus yang menyebabkan penyakit pada manusia seperti demam berdarah, chikungunya, dan zika, ada juga yang menyebabkan infeksi mematikan pada hewan ternak, seperti Rift Valley Fever (RVF), yang dapat membahayakan ekonomi.

“Dan, juga, ada banyak arbovirus yang juga dapat menjadi penyebab epidemi berikutnya, seperti CCHF (Crimean-Congo hemorrhagic fever),” tambahnya.

Dia menyoroti bahwa saat ini hanya ada satu vaksin terhadap CCHF, dan hanya ada dua vaksin terhadap RVF, sehingga diperlukan diversifikasi pengembangan vaksin untuk menangani patogen yang dalam waktu dekat dapat membahayakan risiko epidemi.

MEMBACA  Slerf Menunjukkan Standar Komunitas Kripto Semakin Rendah

Dia mengatakan bahwa semua teknologi untuk pengembangan vaksin, diagnosis, dan pengobatan akan sia-sia jika tidak ada kesetaraan dalam distribusinya. Oleh karena itu, dia menganggap transfer teknologi sebagai suatu keharusan.

Kasus dengan mRNA, yang berhasil meningkatkan perlindungan terhadap COVID-19, membuka peluang untuk mereplikasi teknologi tersebut untuk melawan penyakit lainnya, tambahnya.

“Oleh karena itu, untuk mempromosikan kesetaraan, WHO dan MPP memulai program transfer teknologi mRNA untuk membuat kemampuan manufaktur lokal mampu memproduksi vaksin mRNA dan memperkuat kesiapan pandemi mereka,” jelasnya.

Teknologi tersebut kemudian ditransfer ke 15 mitra, termasuk Bio Farma, atas permintaan Indonesia.

Berita terkait: Pemerintah memastikan pentingnya ibu rumah tangga diberi edukasi tentang arbovirus

Berita terkait: Menteri Kesehatan dorong Wolbachia untuk perang melawan demam berdarah di Bali

Berita terkait: Perubahan iklim meningkatkan infeksi demam berdarah: Kementerian Kesehatan

Reporter: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2024