Penentuan Keaslian Ijazah Hanya Berada di Tangan Pengadilan

Kamis, 13 November 2025 – 23:32 WIB

Jakarta, VIVA – Isu yang ramai menuduh ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) palsu, disebut sebagai bentuk kesalahpahaman terhadap hukum dan tata kelola informasi publik.

Ahli hukum dari Universitas Dirgantara, Sukoco, menegaskan hanya pengadilan yang punya wewenang untuk menyatakan sebuah dokumen sah atau palsu, bukan opini publik atau individu di media sosial.

Menurut Sukoco, dia tidak pernah percaya tuduhan bahwa ijazah Presiden Jokowi itu palsu. Sebagai alumni Universitas Gadjah Mada (UGM), Sukoco menilai isu ini sangat tidak masuk akal dan bisa merusak nama baik institusi pendidikan yang kredibel.

Sukoco mengingatkan, dalam hukum pidana berlaku asas praduga tidak bersalah, jadi seseorang tidak bisa dinyatakan bersalah tanpa putusan pengadilan.

“Ada orang yang menuduh ijazah mantan presiden palsu, dia bilang sudah cek dan 100 persen palsu. Padahal dalam hukum pidana, ada asas praduga tidak bersalah, hanya pengadilan yang bisa nyatakan seseorang bersalah. Istilah dokumen palsu harus dibuktikan di pengadilan. Kita tidak bisa asal bilang ini palsu,” kata dia dalam diskusi ‘Jerat Hukum Pasca Penetapan Status Tersangka’, Kamis, 13 November 2025.

Bareskrim Polri merilis foto kopi ijazah Jokowi

Lebih lanjut, Sukoco menerangkan, dalam konteks hukum keterbukaan informasi publik, yang wajib menyediakan informasi adalah badan publik, bukan individu. Dia menekankan, presiden, baik sedang menjabat atau sudah habis masa jabatannya, tidak punya kewajiban pribadi untuk membuka dokumen pribadi seperti ijazah.

“Kalau kita lihat di Undang-Undang Keterbukaan Informasi, UU 14 tahun 2008, yang wajib menyiapkan informasi publik itu bukan perorangan, tapi badan publik. Pak Jokowi dulu presiden, tapi ketika isu ini muncul, dia sudah bukan presiden lagi, dia adalah perorangan. Jadi, tidak ada kewajiban baginya untuk menunjukkan ijazahnya palsu atau tidak,” kata Sukoco.

MEMBACA  BPJS Kesehatan menggunakan teknologi digital untuk memudahkan akses layanan kesehatan.

Menurut pandangannya, tuduhan yang beredar di publik juga menunjukkan ketidakpahaman terhadap prosedur hukum dalam Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dia menyebut, siapapun yang ingin mendapatkan dokumen publik harus ikut mekanisme resmi lewat Komisi Informasi Publik (KIP), bukan dengan menuduh secara terbuka di media sosial.

“Siapa pun itu harus mengajukan ke badan publik. Nah, kalau badan publiknya tidak mau menunjukkan, maka salurannya adalah ke Komisi Informasi Publik. Jadi orang itu tidak bisa langsung bilang, ‘wah, itu palsu’. Tidak bisa,” ujarnya.