Jakarta (ANTARA) – Kementerian Lingkungan Hidup sedang mempromosikan pasar perdagangan karbon Indonesia melalui perjanjian pengakuan bersama (MRAs) dengan negara lain.
Menurut Deputi Pengendalian Perubahan Iklim kementerian, Ary Sudijanto, upaya ini dilakukan karena pasar karbon di Indonesia masih belum sepopuler pasar karbon luar negeri.
“Volume perdagangan karbon kita masih terbatas dengan harga, yang juga tidak terlalu tinggi,” katanya saat pertemuan dengan Komisi XII DPR di sini pada hari Selasa.
“Kita perlu mengakui bahwa pasar karbon yang kita ciptakan masih baru, belum dikenal oleh para pembeli, yang sudah akrab dengan konsep pasar karbon internasional,” tambahnya.
Pemerintah menawarkan pilihan skema perdagangan karbon kepada pengembang melalui pasar karbon di Indonesia.
“Pengembang karbon perlu mendaftar dengan Sistem Registrasi Nasional (SRN) dan menggunakan skema internasional yang ada. Ketika melakukan perdagangan di pasar sekunder, mereka dapat menggunakan bursa kami atau mereka,” jelasnya.
Menurut Sudijanto, pasar karbon akan menguntungkan bagi pendapatan negara.
“Kami menuntut agar semua perdagangan karbon, baik internasional, tetap berada di Indonesia,” tambahnya.
Namun, ia menekankan bahwa perdagangan karbon masih memerlukan pengawasan ketat untuk memastikan bahwa target Kontribusi Penentuan Nasional yang Ditingkatkan (NDC) dapat diimplementasikan.
“Surplus NDC diharapkan masuk ke pasar karbon ini. Sertifikat penjualan karbon, kami perlu memastikan bahwa apa yang diperdagangkan tidak dihitung dua kali dan diklaim oleh lebih dari satu pihak,” kata Sudijanto.
Ia juga menekankan bahwa pengukuran indeks kinerja kunci bursa karbon akan disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) baru tentang volume pengurangan emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor.
“Nantinya, pengurangan ini akan saling terkait. Investasi dalam mengurangi gas rumah kaca tanpa pendanaan, jadi antara bagaimana kita menerapkan nilai ekonomi karbon dan pencapaian NDC, itu seperti dua sisi dari koin yang harus ada,” jelasnya.
“Agak sulit bagi kita untuk mencapai target NDC tanpa memperkuat Nilai Ekonomi Karbon nya,” tambahnya.
Ia juga menyebutkan manfaat potensial yang besar yang bisa didapat beberapa wilayah, seperti Jambi dan Kalimantan Timur yang digabungkan, dari perdagangan karbon, senilai US$70 juta.
“Sudah dialokasikan kepada pemerintah daerah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) melalui hibah, yang akan dibagi menjadi komponen yang berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca,” katanya.
Berita terkait: Indonesia resmi meluncurkan inisiatif perdagangan karbon internasional
Berita terkait: Indonesia mencatat transaksi karbon senilai Rp36,7 miliar hingga akhir Juni
Berita terkait: Sumatera Barat mendapat hibah Rp53 miliar untuk pengurangan karbon
Penerjemah: Lintang Budiyanti Prameswari, Yashinta Difa
Editor: Arie Novarina
Hak cipta © ANTARA 2025