Pakar Desak Prabowo Hentikan Penempatan Dana Rp200 T di Himbara: Inkonstitusional!

Selasa, 16 September 2025 – 05:19 WIB

Jakarta, VIVA – Kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang mengucurkan dana simpanan pemerintah senilai Rp200 triliun di Bank Indonesia kepada lima bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menuai kontroversi.

Meskipun tujuannya diklaim oleh Menkeu Purbaya untuk mendukung likuiditas dalam sistem keuangan, meningkatkan penyaluran kredit, dan mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini dinilai melanggar aturan perundang-undangan.

Ekonom dan juga Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, menyatakan bahwa kebijakan Menkeu Purbaya mencairkan dana pemerintah Rp200 triliun dan menempatkannya di bank umum Himbara telah melanggar konstitusi dan tiga undang-undang sekaligus.

“Saya menganjurkan agar presiden turun tangan untuk menghentikan program dan praktek jalan pintas seperti ini karena telah melanggar setidaknya 3 undang-undang dan juga konstitusi. Kita tidak boleh melemahkan aturan main dan kelembagaan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya,” kata Didik Rachbini dalam keterangan tertulis yang diterima Senin, 15 September 2025.

Didik merinci poin-poin pelanggaran dalam kebijakan tersebut. Berikut penjelasannya:

1. Proses penyusunan, penetapan, dan alokasi APBN diatur oleh: 1) UUD 1945 Pasal 23, 2) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan 3) UU APBN setiap tahun. Inilah prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan yang harus dijalankan karena anggaran negara merupakan ranah publik. Anggaran negara bukan anggaran privat atau anggaran perusahaan.

2. Kebijakan spontan mengalihkan anggaran negara sebesar 200 triliun rupiah ke perbankan untuk kemudian disalurkan sebagai kredit kepada perusahaan, industri, atau individu merupakan kebijakan yang melanggar prosedur yang diatur oleh Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar.

3. Proses kebijakan yang benar harus dijalankan berdasarkan aturan main. Jika tidak, di masa mendatang akan menjadi preseden dimana anggaran publik digunakan seenaknya, semaunya, dan sesuai kehendak pejabat secara individu. Alokasi anggaran negara tidak bisa dijalankan hanya berdasarkan perintah menteri atau bahkan perintah presiden. Pejabat negara harus taat aturan dalam menjalankan kebijakan sesuai Rencana Kerja Pemerintah (RKP), yang berasal dari kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Tidak boleh ada program yang tiba-tiba muncul seenaknya di tengah jalan.

MEMBACA  Pakar Menyarankan Pembagian Bansos Melalui Pengurus RT/RW untuk Mencegah Politisasi

4. Program-program yang teratur tercantum dalam nota keuangan yang diajukan secara resmi oleh pemerintah kepada DPR. Karena anggaran negara adalah ranah publik, proses politik yang disebut legislasi dijalankan bersama oleh DPR melalui pembahasan di setiap komisi dengan para menteri dan di Badan Anggaran dengan menteri keuangan. Setiap program yang menggunakan anggaran negara tanpa melalui proses legislasi adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Jika ada kebijakan dan program yang muncul tiba-tiba dengan memanfaatkan anggaran, yang hanya merupakan keinginan individu pejabat tanpa proses legislasi, maka ini terindikasi melanggar konstitusi dan undang-undang negara.

5. Jadi, setiap rupiah dari anggaran negara harus melalui pembahasan dengan DPR (Legislative Deliberation). Berdasarkan asumsi yang disepakati, komisi-komisi membahas alokasi untuk K/L secara detail, dan Badan Anggaran merumuskan hasil akhir pembahasan tersebut untuk kemudian disetujui oleh DPR dalam sidang paripurna. Setelah melewati proses legislasi ini, anggaran negara baru dapat dialokasikan untuk dilaksanakan di sektor-sektor oleh kementerian/lembaga dan di daerah oleh pemda. Inilah proses yang sah untuk program pemerintah yang melibatkan alokasi anggaran negara. Tidak bisa hanya melalui keputusan menteri atau SK gubernur.

6. Pelaksanaan Anggaran & Pengelolaan Kas dijalankan oleh Kementerian Keuangan, mencakup penerimaan, belanja, maupun utang. Semua pengelolaan ini harus berdasarkan dan diatur oleh undang-undang, sehingga pejabat mana pun tidak boleh melanggarnya. Pengeluaran dana 200 triliun juga berpotensi melanggar UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, seperti terlihat pada Pasal 22, ayat 4, 8, dan 9.

Pasal 22 UU No. 1/2004:
Ayat 4: untuk kepentingan operasional (penerimaan negara dan APBN), Bendahara Umum Negara dapat membuka rekening penerimaan (pajak dan PNBP) dan rekening pengeluaran (operasional APBN) di bank umum;
Ayat 8: Rekening pengeluaran diisi dana dari RKUN (Rekening Kas Umum Negara) di Bank Sentral.
Ayat 9: jumlah dana yang disediakan di rekening pengeluaran (ayat 8) disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah yang sudah ditetapkan di APBN.

MEMBACA  Adidas Hentikan Penggunaan Perundingan Bersama di Jerman, Picu Kemarahan Serikat Buruh

Pengeluaran anggaran negara untuk program-program yang tidak ditetapkan oleh APBN jelas melanggar Ayat 9. Ayat ini sangat jelas membatasi jumlah dan tujuan penempatan dana hanya untuk operasional pengeluaran sesuai rencana pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN, bukan untuk program-program yang teringat lalu dijalankan.

Jelas bahwa tujuan dan jumlah penempatan dana pemerintah di bank umum hanya untuk kepentingan operasional pengeluaran APBN, yang jumlah dan penggunaannya sudah ditetapkan DPR. Bukan untuk disalurkan oleh bank ke industri melalui skema kredit umum yang terlepas dari pembiayaan APBN. Meski tujuannya baik, penempatan anggaran publik (dana pemerintah) di perbankan ini menyimpang dari amanat Pasal 22, khususnya ayat 8 dan 9 UU No. 1/2004.

Pada ayat 4, Undang-Undang ini membolehkan Menteri Keuangan membuka rekening (penerimaan dan pengeluaran) di bank umum. Tetapi rekening tersebut terbatas untuk kepentingan operasional APBN, bukan untuk melaksanakan program yang tidak ditetapkan APBN. Penempatan dana 200 triliun rupiah dari anggaran negara secara spontan tersebut juga melanggar Pasal 22 ayat 4 UU 1/2004.

7. Saya menganjurkan agar presiden turun tangan untuk menghentikan program dan praktek jalan pintas seperti ini karena telah melanggar setidaknya 3 undang-undang dan juga konstitusi. Kita tidak boleh melemahkan aturan main dan kelembagaan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Program tersebut harus dimulai dari proses legislasi yang baik melalui APBN, diajukan secara sistematis berapa jumlah yang diperlukan dan program apa saja yang akan dijalankan. Tidak boleh lagi ada program yang berdasarkan ingatan sepintas yang keluar dari wawancara spontan atau “doorstop”.

Halaman Selanjutnya