Karo AUPK UIN Sunan Gunung Djati-Pembina Pondok Pendawa, Imam Safei. FOTO/DOK. PRIBADI
Imam Safe’i
Karo AUPK UIN SGD-Pembina Pondok Pendawa
CORAK keberagamaan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran kedua Organisasi Masyarakat (Ormas) keagamaan yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama. Keduanya yang lahir dalam selang waktu yang tidak terlalu lama, Muhammadiyah didirikan pada Tahun 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Nahdlatul Ulama didirikan pada Tahun 1926 oleh Kyai Hasyim Asyari. Kedua organisasi yang sama-sama didirikan sebelum Indonesia Merdeka ini banyak sekali memiliki persamaan. Kedua pendirinya sama-sama bergelar kiai, sama-sama belajar mendalami Agama Islam di tanah kelahirannya Nabi Muhammad SAW di Arab Saudi, sama-sama memiliki komitmen kebangsaan yang luar biasa, sehingga keduanya memiliki kontribusi yang besar terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.
Dua tokoh yang sama-sama murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi memiliki jiwa cinta Tanah Air yang tidak diragukan lagi. Ketika sama-sama telah mendapatkan ilmu agama dan merasa cukup bahwa apa yang didapatkan itu bisa sebagai modal berkhidmah kepada bangsa, mereka bersama-sama pulang kembali ke tanah air walaupun waktunya sedikit berbeda. Untuk meraih kemerdekaan Indonesia yang saat itu masih dalam cengkeraman penjajah Kolonial Belanda tentu yang paling dibutuhkan sumberdaya manusia yang pada saatnya mampu mengelola negara jika cita-cita merebut kemerdekaan Indonesia mampu diwujudkannya. Melihat Indonesia yang besar, beragam, kaya dan sangat luas wilayahnya, maka kesiapan-kesiapan sumber daya adalah modal utama. Muhammadiyah lahir dan mampu membuktikannya. Dengan penataan organisasi yang prima, lahir dari lembaga ini tokoh-tokoh yang memiliki peran besar mengawal bangsa Indonesia menjadi bangsa yang Merdeka.
Melengkapi sisi lain yang mungkin dirasakan bermakna memperkuat keberadaan Muhammadiyah dalam berkhidmah kepada bangsa, tidak terlalu lama lahir organisasi yang hampir sama yaitu Nahdlatul ‘Ulama. Dengan kolaborasi yang kokoh dari beberapa tokoh yakni KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syamsuri, organisasi ini mampu membersamai dan melengkapi rintisan-rintisan besar yang telah dimulai oleh KH Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah. Hal ini terbukti ketika kemerdekaan Indonesia bisa diraih dan diwujudkan, nama tokoh-tokoh dari kedua oranisasi ini beraga di garda terdepan. Tidak hanya saat kemerdekaan ini diproklamirkan, hingga saat ini kedua organisasi ini beserta tokoh-tokoh yang ada di dalamnya selalu hadir dan berkontribusi untuk memperkokoh dan memperkuat tegaknya dan majunya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Muhammadiyah-NU
Dengan pelbagai macam persamaan Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama, ada pula perbedaan-perbedaan yang selama ini juga sering mendapatkan perhatian besar dan luar biasa. Khususnya setiap datangnya Bulan Ramadan. Baik di awal maupun di akhir pelaksanaan ibadah puasa, sebagian perhatian masyarakat akan tertuju pada kedua organisasi ini. Karena ada dasar-dasar hukum dan kebijakan yang berbeda dalam penetapannya, maka bisa dimungkinkan terjadi awalnya sama akhirnya berbeda, awalnya berbeda dan akhirnya sama, bisa sama-sama awal akhirnya berbeda dan juga bisa terjadi awal akhirnya sama. Terhadap peristiwa ini ada yang membesar-besarkan perbedaannya bahkan hingga saling mengejek dan ada pula yang menganggap biasa dan saling menghargai sebagai sebuah perbedaan.
Ini adalah contoh perbedaan Muhammadiyah-NU yang terjadi berulang-ulang di setiap Bulan Ramadan. Karena peristiwa ini sudah terjadi sejak lama, maka banyak kalangan yang merespons dengan biasa-biasa saja. Memaksa sama terhadap hal yang berbeda tentu sama susahnya dengan memaksa berbeda terhadap hal yang sudah sama. Di ranah inilah semuanya dituntut kelapangan dada untuk menerima perbedaan. Dan warna-warni itu ternyata indah, yang dibutuhkan adalah bekerja keras merawat dan memeliharanya agar keindahan itu tidak menjadi patah dan punah.
Sebenarnya, perbedaan Muhammadiyah-NU sangat banyak jumlah dan ragamnya. Akibat masing-masing mengambil ranah yang berbeda sebagai bentuk hidmah kepada agama, sehingga tidak semua perbedaan bernuansa negatif dan membawa dampak persaingan, permusuhan atau perpecahan. Perbedaan ini dipandang dan dimaknai berbagi peran karena masing-masing ada fokus dan kekuatan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, bicara tentang sekolah dan Perguruan Tinggi serta Lembaga-lembaga Kesehatan, maka semua akan memberikan acungan jempol kepada Muhammadiyah yang eksis membangun dan mengembangkan tidak hanya di Tanah Air Indonesia saja bahkan juga tersebar di pelbagai negara. Peran ini kayaknya sulit akan dikejar atau diikuti dengan cepat oleh Nahdlatul ‘Ulama.
Demikian pula apa yang sudah dikerjakan Nahdlatul ‘Ulama, dengan ciri kekhasannya telah melayani mayarakat yang butuh layanan agama. Bisa kita lihat bersama yang tersebar di pelosok-pelosok desa dan juga di beberapa kota, layanan Pendidikan Keagamaan mulai dari Tingkat Ula hingga Ma’had ‘Aly berdiri di mana-mana sebagai baktinya Nahdlatul ‘Ulama kepada bangsa dan negara. Pondok pesantren dengan pelbagai ragamnya juga lahir dan tumbuh di mana sebagai bukti Nahdlatul ‘Ulama mampu melayani masyarakat yang tidak terjangkau dan menjangkau masyarakat yang tidak terlayani.
Kekhasan dan keunggulan masing-masing antara Muhammadiyah dan NU sangat membantu pemerintah khususnya dalam layanan sosial, pendidikan dan keagamaan. Melihat peran yang sangat besar dari kedua Organisasi Keagamaan ini sehingga keduanya terus dilibatkan oleh pemerintah dalam rangka melayani dan memberikan solusi tekait di bidang pendidikan dan keagamaan. Oleh karena itu sudah saatnya melihat perbedaan hanya dengan kacamata negatif saja tetapi harus melihat perbedaan hal yang saling melengkapi dengan keunggulan masing-masing.
Muhammadinu
Belakangan ini di media sosial kita temukan konten yang sangat menarik terkait dengan tema ini. Seorang aktivis, cendekiawan muda, dan kader Muhammadiyah Mas Nurbani Yusuf yang membuat surat terbuka kepada Nahdlatul ‘Ulama. Dengan jujur kader muda ini menceritakan peran, kerja nyata serta keunggulan-keunggulan Nahdlatul ‘Ulama yang telah ditorehkan sebagai karya agung terhadap bangsa dan negara. Bahkan dalam pernyataan yang jujur itu beliau juga mengakui hal-hal yang selama ini disoroti sebagai hal yang berbeda. Tetapi bukan itu yang dikedepankan dan dikemukakan. Banyak hal lain yang diakuinya bahwa perbedaan itu justru yang dianggap melengkapi apa yang tidak dilakukan oleh ormas sebelahnya. Tentu ini adalah fenomena jujur yang membahagiakan.
Tidak selang lama, surat terbuka dari seorang saudara tua Muhammadiyah ini dibalas oleh saudara mudanya dari Nahdlatul ‘Ulama yang bernama Muhammad Ismail Siddiq dengan judul Surat Balasan untuk Muhammadiyah. Dengan rasa girangnya ucapan terima kasih dari saudara tuanya itu diungkapkan dengan ekspresi syukur dan harapan yang luar biasa. Semua berharap dengan pernyataan jujur dari dua generasi yang berbeda latar belakang Ormas Keagamaannya tetapi sama-sama saling mengakui kehebatannya. Ke depan kehidupan umat beragama di Indonesia akan semakin mesra, rukun dan harmoni untuk bersama-sama berpikir meraih kemajuan bangsa. Dengan kekuatannya masing-masing keduanya akan bisa saling melengkapi dan mendukung bukan menghambat dan menikung.
Akibat kedekatan saling menghargai dan mendukung ini, muncul istilah baru di tengah-tengah Masyarakat yaitu Muhammadinu yaitu perpaduan antara kebiasaan Muhammadiyah dan NU. Fenomena ini pasti tidak ada yang membantah. Sebagai contoh, ada guru di sekolah Muhammadiyah atau dosen di kampus Muhammadiyah tetapi mereka di masyarakat juga tahlilan, yasinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang diamalkan jamaah Nahdlatul ‘Ulama. Tidak sedikit pula kader-kader Nahdlatul ‘Ulama yang mengikuti salat taraweh berjamaah delapan rekaat sebagaimana amalan yang dilaksanakan oleh jamaah Muhammadiyah. Kedua model ini kadang-kadang tidak bisa dihindari karena mereka berada di komunitas yang berbeda dengan ormas keagamaan yang diikutinya. Dalam kondisi seperti ini bukan perbedaannya yang dikedepankan tetapi hal-hal yang membuat mereka bisa rukun dan hidup bersama. Dan contoh-contoh seperti ini sering kita lihat dilakukan juga oleh tokoh-tokoh besar yang juga layak menjadi panutan.
Mengedepankan yang sama
Kondisi dan tantangan kehidupan akan terus berkembang, dan ini dampaknya juga dalam aktivitas kehdupan keseharian. Hal ini juga akan berpengaruh pada sebagian sikap-sikap keberagamaan. Tanpa meninggalkan esensi yang diyakni, perbedaan-perbedaan ini harus dilihat dari sisi yang menguntungkan. Khusunya dalam konteks keberagamaan, semua harus bisa membedakan mana yang pokok dan mana yang cabang, sehingga semua tidak salah langkah membela mati-matian yang tidak utama tetapi mengabaikan yang prinsip yang harus dijunjung bersama.
Meski sedikit-sedikit aura pelbagai perbedaan masih bisa kita saksikan, tetapi sikap toleransi dan saling menghargai lebih dominan sehingga dari tahun ke tahun kehidupan umat beragama di Indonesia makin membanggakan. Ini semua tidak terlepas dari kerja keras kedua Ormas Keagamaan terbesar di tanah air yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama. Kita menghargai dengan mereka teguh dengan salah satunya tetapi kita juga memaklumi kalau ada yang sedikit berbeda. Kita bangga dengan mereka yang tetap kokoh di garis Muhammadiyah atau NU tetapi kita juga menghargai mereka yang kadang-kadang Muhammadinu.
(abd)