Bondowoso, Jawa Timur (ANTARA) – Meskipun pondok pesantren telah lama memberikan kontribusi besar bagi sektor pendidikan Indonesia, terutama dalam membentuk fondasi moral dan spiritual siswa, tetap ada ruang untuk perbaikan di dalam lembaga-lembaga keagamaan ini.
Pesantren harus tetap terbuka terhadap masukan dari pihak luar untuk lebih memperkuat peran mereka dalam mempersiapkan generasi mendatang, termasuk bimbingan untuk memastikan kesejahteraan fisik dan mental santri.
Menanggapi masukan tersebut, Kementerian Agama telah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Pesantren, yang menekankan komitmennya untuk menciptakan pesantren yang ramah anak di seluruh Indonesia.
Melalui inisiatif ini, kementerian telah memilih setidaknya 512 pesantren sebagai lokasi percontohan untuk program pesantren ramah anak. Lembaga-lembaga ini akan menerima pendampingan, pemantauan, dan evaluasi untuk memastikan konsep ramah anak diimplementasikan dengan efektif.
Melalui upaya-upaya ini, pemerintah bertujuan membangun ekosistem pendidikan inklusif yang memprioritaskan kesejahteraan santri.
Program pesantren ramah anak ini merupakan langkah untuk menghadirkan pesantren yang benar-benar sejalan dengan nilai-nilai inti keagamaan lembaga pendidikan, yaitu mengajarkan agama tidak hanya sebagai ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai sesuatu yang harus diamalkan sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari para santri dan semua anggota komunitas pesantren.
Program ini juga berupaya memastikan bahwa nilai dasar agama, yaitu saling menjamin keselamatan sesama manusia, juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, termasuk di dalam komunitas pesantren.
Beberapa kasus yang mengindikasikan praktik tidak ramah anak di lingkungan pesantren tidak hanya menyebabkan trauma psikologis pada korban, tetapi bahkan mengakibatkan kematian, seperti yang terjadi di sebuah pesantren di Sukoharjo, Jawa Tengah, dan di Bogor, Jawa Barat, pada September 2024.
Pada September 2022, kasus kekerasan di pesantren yang mengakibatkan korban meninggal dunia juga terjadi di Ponorogo, Jawa Timur. Kasus kematian ini mungkin hanya terjadi satu dari seribu pesantren. Meski demikian, hal ini harus tetap menjadi perhatian semua pihak untuk memastikan kasus serupa tidak terulang kembali.
Melihat pola kasusnya, kekerasan di pesantren umumnya dilakukan oleh senior terhadap juniornya. Diduga, tindakan kekerasan tersebut merupakan hasil dari perlakuan yang sama yang diterima pelaku dari senior mereka sebelumnya, sehingga menciptakan siklus kekerasan yang perlu perhatian semua pihak untuk dihentikan.
Program Kementerian Agama ini merupakan bentuk perhatian bangsa dan masyarakat terhadap peran pesantren dalam pengembangan pendidikan mandiri, di samping peran mulia mereka, termasuk selama perjuangan kemerdekaan Indonesia, di mana para santri dan kiai berpartisipasi sebagai aktor kunci.
Dengan sistem di mana senior dipercaya untuk mengurus dan memantau junior mereka, perhatian khusus memang diperlukan untuk menghindari masalah yang dapat merusak reputasi pesantren.
Semua perhatian ini, termasuk kritik terhadap pesantren, merupakan ungkapan dari harapan kuat masyarakat agar lembaga ini tetap menjadi rujukan bagi orang tua yang mempercayakan anaknya untuk menuntut ilmu di sana.
Tentu saja, semua insiden yang telah terjadi dan mempengaruhi nama baik pesantren memberikan pelajaran besar bagi pengelola lembaga pendidikan ini untuk memperbaiki sistem yang diterapkan di sekolah mereka, termasuk sistem asuhan.
Meskipun santri yang dipercaya membimbing juniornya di pesantren disebut senior, pada dasarnya mereka masih dianggap di bawah umur. Mereka belum sepenuhnya dewasa, dan kondisi emosional mereka masih labil, sehingga membutuhkan pengawasan ketat dari orang dewasa di sekitar mereka, termasuk guru yang diharapkan lebih dewasa secara psikologis.
Sistem Asuhan
Dalam program pesantren ramah anak, penguatan pemahaman tentang asuhan yang tepat dari santri senior kepada junior adalah prioritas utama.
Di samping guru, atau ustaz, santri senior yang ditugaskan untuk membimbing junior mereka harus mendapat pelatihan psikologis tentang cara membimbing dan memperlakukan siswa yang lebih muda dengan tepat. Ini termasuk kesadaran akan konsekuensi hukum jika sistem asuhan gagal menjunjung tinggi prinsip-prinsip ramah anak.
Dengan menumbuhkan pemahaman yang lebih baik tentang aspek psikologis dan hukum, disiplin ketat – yang seringkali diungkapkan melalui hukuman fisik – dapat dihindari, sehingga orang tua dapat merasa lebih percaya diri untuk mengirimkan anaknya belajar di pesantren.
Pemahaman komprehensif tentang cara menciptakan lingkungan yang aman dan ramah anak diharapkan dapat membantu pesantren memenuhi perannya dalam mempersiapkan generasi yang berkualitas menuju visi Indonesia Emas 2045.
Terlepas dari kekhawatiran publik mengenai perkembangan anak, pesantren tetap menjadi pilihan utama bagi banyak orang tua yang mencari pendidikan moral dan spiritual untuk anak-anak mereka.
Dengan memperbaiki sistem asuhan yang ramah anak, pesantren dapat terus berkembang mengikuti zaman dan bertransformasi menjadi lembaga pendidikan modern, sambil tetap menjaga nilai-nilai tradisionalnya dalam membentuk karakter dan akhlak santri.