Baru-baru ini, dua peristiwa tragis yang melibatkan penggunaan senjata api oleh petugas keamanan telah menarik perhatian publik secara signifikan. Penembakan seorang polisi oleh rekan sejawatnya di Solok Selatan, Sumatera Barat, dan kematian seorang siswa SMK di Semarang, Jawa Tengah, setelah dilaporkan tertembak oleh peluru nyasar telah menimbulkan diskusi luas tentang potensi penyalahgunaan senjata api oleh pasukan keamanan. Kejadian-kejadian ini tidak hanya mengganggu rasa aman masyarakat, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang cukupnya regulasi dan pengawasan yang ada untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Sementara senjata api merupakan alat penting bagi petugas keamanan dalam bertahan diri dan menjalankan tugas, penggunaannya membawa tanggung jawab besar dan risiko penyalahgunaan jika tidak disertai dengan pengawasan ketat, pelatihan yang memadai, dan kestabilan kejiwaan petugas yang menggunakannya. Peristiwa terbaru menunjukkan bahwa faktor-faktor ini mungkin belum sepenuhnya dipertimbangkan oleh pihak berwenang di Indonesia. Sebagai langkah pertama, diperlukan tinjauan komprehensif terhadap regulasi yang mengatur penggunaan senjata api oleh petugas. Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2009 adalah landasan untuk menerapkan prinsip-prinsip dan standar hak asasi manusia dalam operasi polisi Indonesia. Peraturan ini menekankan pentingnya memberikan peringatan yang jelas sebelum menggunakan senjata api kecuali tindakan langsung diperlukan untuk mencegah kematian atau luka serius. Petugas juga diinstruksikan untuk menembak peringatan ke udara atau tanah sebagai upaya terakhir. Namun, tantangan masih ada dalam implementasi praktis regulasi ini. Pengawasan yang konsisten seringkali kurang, dan senjata api mungkin diberikan kepada petugas tanpa evaluasi psikologis yang memadai, meskipun peran kesehatan mental sangat penting dalam pengambilan keputusan di lapangan. Dalam sebuah studi tahun 2022 yang diterbitkan dalam Jurnal Teori Hukum, peneliti Arman Hidayat, Syahruddin Nawi, dan Nasrullah Arsyad menyelidiki penyalahgunaan senjata api oleh petugas Polda Sulawesi Selatan di Kota Makassar. Studi tersebut mengidentifikasi struktur hukum, pengetahuan, dan faktor budaya sebagai penyebab signifikan dari masalah ini. Untuk mengatasi masalah tersebut, para peneliti merekomendasikan beberapa langkah. Pertama, proses rekrutmen profesional yang ketat dan penempatan proporsional adalah hal mendasar. Polisi juga harus melakukan pengawasan yang ditingkatkan dengan menerapkan pengawasan khusus dan responsif untuk petugas yang diizinkan membawa senjata api, kata para peneliti. Petugas juga harus diberikan pelatihan intensif dan konsisten, termasuk pelatihan kesehatan mental dan pengembangan keterampilan khusus. Akses senjata api yang terkontrol — memberikan akses senjata api secara berkala dan selektif — juga penting karena ini memungkinkan penarikan tepat waktu dalam kasus perubahan perilaku atau potensi penyalahgunaan. Petugas juga harus dilatih dalam pengambilan keputusan, dengan menekankan proporsionalitas dan akuntabilitas selain pelatihan reguler dan komprehensif, yang berfokus pada keterampilan menembak teknis. Langkah-langkah ini bertujuan untuk mengurangi risiko, terutama ketika petugas dalam tekanan emosional atau mengalami stres berat. Dalam insiden Semarang, yang menyebabkan kematian seorang siswa SMK, indikasi awal ketidakpatuhan petugas terhadap prosedur operasi standar untuk situasi non-darurat akan menyoroti kegagalan dalam memahami prinsip-prinsip mendasar yang mengatur penggunaan kekuatan. Selain itu, budaya institusi juga dapat memengaruhi penyalahgunaan senjata api. Oleh karena itu, penting untuk mencegah budaya maskulinitas toksik agar tidak tumbuh dalam unit kepolisian untuk memastikan bahwa kepemilikan senjata api tidak terkait dengan status atau kekuasaan. Jika budaya seperti itu dibiarkan berlanjut, senjata api akan menjadi simbol kekuasaan daripada alat perlindungan, meningkatkan risiko penyalahgunaan demi keuntungan pribadi. Hal ini dapat merusak reputasi institusi polisi dan mengikis kepercayaan masyarakat. Rekomendasi kebijakan Untuk mencegah penyalahgunaan senjata api oleh polisi, regulasi bertingkat, seperti Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009, telah diterapkan. Peraturan ini menekankan mekanisme pelaporan untuk memastikan akuntabilitas dan keadilan. Peneliti dari Universitas Pekalongan — Nur Fatoni, Listyo Budi Santoso, S.H., M.Kn., dan Nurul Huda, S.H., M.Hum. — menganalisis regulasi yang mengatur penggunaan senjata api, mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan penyalahgunaan, dan meneliti upaya pencegahan yang ada. Mereka menyoroti faktor internal, seperti pemahaman petugas tentang aturan, etika, dan keadaan psikologis mereka, serta faktor eksternal, seperti pengawasan kepemimpinan dan kondisi operasional, untuk penyalahgunaan senjata api. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan yang beragam direkomendasikan oleh studi tersebut, seperti seleksi personel yang lebih ketat, evaluasi psikologis reguler, dan tinjauan periodik, selain regulasi yang lebih ketat dan sanksi yang konsisten untuk mencegah penyalahgunaan dan meningkatkan akuntabilitas. Dengan menggabungkan strategi-strategi ini, regulasi dapat diperkuat dan penegakan yang konsisten dapat dipastikan untuk mencegah penyalahgunaan senjata api. Solusi untuk masalah ini ada, dan beberapa rekomendasi dapat dilakukan untuk mengatasinya: Pertama, mekanisme pengawasan internal yang lebih ketat diperlukan. Setiap izin kepemilikan senjata api harus disertai dengan evaluasi psikologis independen dan berkelanjutan, termasuk penilaian stres kerja dan kesehatan mental. Audit reguler kepemilikan dan penggunaan senjata api juga dapat mendeteksi potensi penyalahgunaan secara proaktif. Kedua, pelatihan penggunaan senjata api harus ditingkatkan secara komprehensif, mencakup aspek teknis, psikologis, dan etika. Petugas harus dilatih tidak hanya dalam menembak tepat tetapi juga dalam penggunaan senjata api yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia. Di sini, program pelatihan berbasis simulasi, seperti yang diterapkan di banyak negara maju, dapat berfungsi sebagai model yang efektif. Ketiga, reformasi budaya institusi sangat penting untuk mempromosikan fokus yang lebih besar pada pelayanan publik dan hak asasi manusia. Pemimpin di semua tingkatan harus mencontohkan akuntabilitas dan transparansi, terutama dalam menangani kasus penyalahgunaan senjata api. Selain itu, sistem pelaporan publik untuk dugaan penyalahgunaan kekuatan harus dioptimalkan dan dipastikan untuk mendorong pelaporan publik atas kejadian mencurigakan. Terakhir, pendekatan yang lebih empatik terhadap kesehatan mental petugas diperlukan. Lingkungan kerja yang penuh tekanan seringkali berkontribusi pada penyalahgunaan senjata api. Program dukungan kesehatan mental, seperti konseling rutin dan layanan psikologis institusi, dapat membantu petugas mengelola stres dengan cara yang lebih sehat. Pada akhirnya, mencegah penyalahgunaan senjata api oleh petugas memerlukan komitmen institusi yang kuat untuk reformasi struktural yang jujur. Kejadian di Solok Selatan dan Semarang harus menjadi pendorong untuk perbaikan sistemik yang mengatasi tidak hanya tindakan individu petugas tetapi juga faktor-faktor penyebab yang mendasarinya. Dengan konsisten menegakkan regulasi, menerapkan pengawasan yang ketat, dan menumbuhkan budaya institusi yang positif, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dapat dipulihkan, dan kejadian-kejadian penyalahgunaan senjata api di masa depan dapat dicegah. Rakyat Indonesia layak mendapatkan lingkungan yang aman, dan petugas yang dipercayakan dengan senjata api harus menjaga kepercayaan ini. Berita terkait: Dua polisi dipecat karena perilaku tidak pantas dalam peringatan HUT TNI Berita terkait: Sidang disiplin digelar untuk lima polisi karena menembak siswa.