Meningkatkan diplomasi Kolintang sebagai warisan budaya tradisional

Musik dapat berfungsi sebagai penggabung keberagaman budaya, bahasa universal yang merangkul semua pihak, dan bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan keberagaman budaya. Negara ini, dengan keberagaman budaya mega, memiliki harta karun musik tradisional yang luar biasa. Namun, musik tradisional saat ini menghadapi tantangan yang berat. Tantangan dalam era teknologi informasi saat ini cukup berbeda dari dekade sebelumnya. Musisi tidak hanya menghadapi tantangan pembajakan dan royalti lagu tetapi juga perkembangan platform digital yang telah mendominasi rantai pasar dan mengarahkan persepsi publik terhadap musik secara keseluruhan. Generasi muda saat ini – Gen Milenial, Z, dan Alpha – lebih aktif dalam berselancar di platform musik digital seperti Spotify, YouTube, dan TikTok. Berbagai negara, seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan China, telah mendorong ekspansi budaya melalui musik dan juga dengan memanfaatkan platform digital. Musik tradisional tidak lagi mendapat perhatian khusus. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, musik tradisional sangat berakar dalam tradisi masyarakat tertentu. Pelestarian musik tradisional menghadapi tantangan besar. Langkah afirmatif khusus dianggap penting untuk memperkuat pelestarian musik tradisional tidak hanya dalam bentuk pertunjukan tetapi juga dalam pendidikan sejak usia dini. Pemerintah Indonesia terus berupaya mempromosikan musik tradisional sebagai warisan budaya regional dan nasional dengan menyertakannya dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda Dunia (ICH) dari UNESCO. Dua alat musik tradisional Indonesia – Gamelan (2021) dan Angklung (2010) – telah dimasukkan dalam daftar ICH UNESCO. Pada tahun 2024, upaya terus dilakukan untuk menyertakan alat musik Kolintang dalam Daftar Perwakilan ICH UNESCO. Alat musik khas Minahasa, Sulawesi Utara, tidak hanya dikenal di Minahasa tetapi juga di seluruh Indonesia dan luar negeri. Di masa lalu, musik Kolintang dimainkan selama upacara ritual tradisional yang terkait dengan penyembahan roh nenek moyang, namun seiring waktu, musik ini lebih menjadi pengiring tarian, pelengkap lagu dan pertunjukan musik dalam berbagai acara seperti upacara tradisional, pesta, dan syukuran serta untuk menyambut tamu. Kolintang berasal dari kata “tong” untuk nada rendah, “ting” untuk nada tinggi, dan “tang” untuk nada tengah. Di masa lalu, masyarakat Minahasa menyebut permainan kolintang “Maimo Kumolintang” yang kemudian lebih populer disebut Kolintang. Alat musik Kolintang terdiri dari batang-batang kayu yang disusun dalam baris dan dipasang di atas bak kayu. Kayu yang digunakan umumnya adalah varietas lokal yang ringan dan kuat dan memiliki konstruksi serat paralel. Alat musik kolintang umumnya dimainkan bersama atau dalam ansambel. Alat musik ini telah diakui sebagai warisan budaya tak benda nasional sejak tahun 2013. Penyerahan Kolintang ke UNESCO adalah salah satu upaya untuk melestarikan alat musik tersebut. Kolintang diserahkan bersama Balafor, alat musik dari Afrika, dengan pola ekstensi dengan negara-negara Afrika, yaitu Burkina Faso, Mali, dan Pantai Gading. Indonesia mengambil pola ini, karena kedua alat musik memiliki banyak kesamaan dalam hal fungsi dalam tatanan budaya dan kelompok etnomusik. Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) secara aktif menyajikan ansambel kolintang di setiap acara resmi. Demikian pula, pemangku kepentingan lain aktif mempromosikan Kolintang, salah satunya adalah Persatuan Rakyat Kolintang Nasional (PINKAN) Indonesia, sebuah organisasi masyarakat yang aktif dalam mempromosikan alat musik tersebut. Penerbitan buku “Kolintang: Suara Surga” oleh Luddy Wullur dan Lidya Katuuk, yang didukung oleh organisasi pada Oktober 2024, adalah langkah yang patut diapresiasi. Ini adalah bentuk dukungan nyata untuk memperkuat langkah diplomasi budaya Indonesia sambil memperkuat narasi dan literasi tentang kolintang. Pelestarian alat musik Kolintang harus terus diperkuat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Keterlibatan generasi muda sangat diperlukan untuk memperkuat kemajuan kolintang, misalnya, kolaborasi dengan alat musik tradisional lain, seperti sampek, rebab, gamelan, kecapi, angklung, tifa, dan sasando, atau alat musik modern dengan genre pop, jazz, rock, dan genre musik lainnya. Salah satu aspek yang harus dipertimbangkan adalah bagaimana pendidikan dan pelatihan formal dan informal tentang kolintang sejak usia dini dapat dilakukan secara berkelanjutan. Begitu pula, pelaksanaan berbagai festival musik tradisional di Indonesia seharusnya melibatkan semua pemangku kepentingan terkait sehingga lebih inklusif. Di sisi lain, pengetahuan tentang kayu sebagai bahan dasar pembuatan kolintang dapat menjadi referensi berharga tentang perlunya pelestarian tanaman kayu, seperti kayu telur (Alstonia spp.), wenuang (Octomeles sumatrana Miq.), cempaka (Elmerrillia tsiampacca, syn. Magnolia tsiampacca), dan waru (Hibiscus tiliaceus). Pemahaman terkait dengan pelestarian tanaman kayu sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu keseimbangan antara ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya. Pelestarian dan kemajuan musik tradisional Indonesia, seperti kolintang, harus berjalan seiring sebagai katup keamanan untuk identitas budaya dan karakter nasional.

MEMBACA  Lai Ching-te dari Taiwan meminta kepada tentara untuk melepaskan warisan nasionalis guna menghadapi ancaman dari China.

Tinggalkan komentar