Mengukur Tingkat Radikalisme dan Sikap Anti-Toleransi di Indonesia

Ridwan al-Makassary
Direktur Center of Muslim Politics and World Society (COMPOSE) FoSS UIII

PADA tahun 2025, radikalisme dan sikap anti-toleransi di Indonesia sudah tidak bisa lagi dilihat hanya dari sudut pandang terorisme dan ekstremisme kekerasan, seperti yang sering dilakukan dulu. Kalau kita tetap memakai cara pandang itu, yang terjadi justru banyak hal jadi tidak jelas ketimbang yang bisa kita pahami.

Yang dihadapi Indonesia sekarang bukan cuma soal ide-ide radikal yang masih ada, tetapi juga bentuk barunya yang sudah tertanam di masyarakat, tersebar lewat dunia digital, dan punya sisi politik yang ambigu. Makanya, tugas kita bukan cuma menilai ancaman radikalisme, tapi juga harus paham konteksnya dari sudut pandang yang lebih luas.

Indonesia sudah lama dipuji karena kemampuannya mengelola keragaman, lewat gabungan yang pragmatis antara ideologi negara, moderasi beragama, dan peran masyarakat sipil. Pancasila, organisasi massa keagamaan dan non-keagamaan, serta kearifan lokal juga berfungsi baik sebagai peredam guncangan budaya.

Tapi, ketahanan itu jangan disamakan dengan kekebalan. Radikalisme di 2025 bisa bertahan bukan karena Indonesia gagal, tetapi karena ada beberapa pergeseran yang terjadi.

Pergeseran pertama adalah soal generasi. Radikalisme sekarang tidak lagi disebarkan lewat kelompok belajar tertutup atau jaringan jihad lintas negara. Tidak juga hanya lewat pengajian tentang khilafah atau pemahaman agama yang sangat ketat di masjid-masjid.

Sebaliknya, ia sekarang lebih banyak beredar dan menyebar lewat ekosistem media sosial yang memberi nilai pada kemarahan, penyederhanaan masalah, dan klaim kepastian moral. Bagi generasi muda Indonesia, milenial dan Gen Z, banyak yang sadar politik tapi tidak percaya pada lembaga-lembaga resmi.

Mereka ini rentan terpapar narasi radikal lewat dunia digital yang menawarkan jawaban jelas di tengah narasi-narasi yang ruwet. Narasi radikal ini tidak selalu menganjurkan kekerasan atau terang-terangan anti-negara, tapi sering juga muncul sebagai sikap moral yang absolut, politik identitas yang eksklusif, atau cara pandang konspiratif terhadap kehidupan berbangsa.

MEMBACA  Operasi SAR Diintensifkan di Daerah Banjir dan Longsor

Tinggalkan komentar